Jumat, 08 Juli 2011


Mengacu pada perbedaan tofografi dan adat istiadat, penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, masing-masing:

1. Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum rumah di atas tiang (rumah panggung) dengan mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan).
2. Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa danau dan lembah serta kaki gunung. Umumnya mereka bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan;
3. Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan berternak secara sederhana.

Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang masing-masing berbeda. Tribal arts yang indah dan telah terkenal di dunia dibuat oleh suku Asmat, Ka moro, Dani, dan Sentani. Sumber berbagai kearifan lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik diantaranya dapat ditemukan di suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya maru, Mandacan, Biak, Arni, Sentani, dan lain-lain.

Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat berpenduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.

Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafah masyarakat yang sangat unik, misalnya seperti yang ditunjukan oleh budaya suku Komoro di Kabupaten Mimika, yang membuat genderang dengan menggunakan darah. Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya yang gemar melakukan perang-perangan, yang dalam bahasa Dani disebut Win. Budaya ini merupakan warisan turun-temurun dan di jadikan festival budaya lembah Baliem. Ada juga rumah tradisional Honai, yang didalamnya terdapat mummy yang di awetkan dengan ramuan tradisional. Terdapat tiga mummy di Wamena; Mummy Aikima berusia 350 tahun, mummy Jiwika 300 tahun, dan mummy Pumo berusia 250 tahun.

Di suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi, sejenis kayu yang dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian. Sasi ditanam 40 hari setelah hari kematian seseorang dan akan dicabut kembali setelah 1.000 hari. Budaya suku Asmat dengan ukiran dan souvenir dari Asmat terkenal hingga ke mancanegara. Ukiran asmat mempunyai empat makna dan fungsi, masing-masing:

   1. Melambangkan kehadiran roh nenek moyang;
   2. Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia;
   3. Sebagai suatu lambang kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tetumbuhan dan benda-benda lain;
   4. Sebagai lambang keindahan dan gambaran ingatan kepada nenek moyang.

Budaya suku Imeko di kabupaten Sorong Selatan menampilkan tarian adat Imeko dengan budaya suku Maybrat dengan tarian adat memperingati hari tertentu seperti panen tebu, memasuki rumah baru dan lainnya.
Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat beragama di sana dapat dijadikan contoh bagi daerah lain, mayoritas penduduknya beragama Kristen, namun demikian sejalan dengan semakin lancarnya transportasi dari dan ke Papua, jumlah orang dengan agama lain termasuk Islam juga semakin berkembang.

Banyak misionaris yang melakukan misi keagamaan di pedalaman-pedalaman Papua. Mereka memainkan peran penting dalam membantu masyarakat, baik melalui sekolah misionaris, balai pengobatan maupun pendidikan langsung dalam bidang pertanian, pengajaran bahasa Indonesia maupun pengetahuan praktis lainnya. Misionaris juga merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau oleh penerbangan reguler.

    * Lokasi pemerintahan

daerah (Provinsi) Papua beribu kota di Jayapura dan secara pentadbirannya terdiri daripada : 9 Pemerintahan Kabupaten iaitu Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Merauke, Fak-Fak, Sorong, Manokwari, Biak Numfor, Yapen Waropen dan Nabire. Dua Pemerintahan Kota iaitu Kota Jayapura dan Kota Sorong, tiga Pemerintahan Kabupaten Administratif iaitu Puncak Jaya, Paniai dan Mimika. Jumlah Kecamatan di Papua adalah 173 kecamatan yang mencakupi 2.712 desa dan 91 kelurahan.

Papua adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea.

Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.

Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asliPapua adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak dibagian tengah pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea.

Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), para Nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands New Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada dibawah penguasaan Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002.

    * Iklim dan geografi

Papua terletak tepat di sebelah selatan garis khatulistiwa, namun kerana daerahnya yang bergunung-gunung maka iklim di Papua sangat bervariasi melebihi daerah Indonesia lainnya. Di daerah pesisiran barat dan utara beriklim tropika lembap dengan tadahan hujan rata-rata berjumlah diantara 1.500 – 7.500 mm pertahun. Tadahan hujan tertinggi terjadi di pesisir pantai utara dan di pegunungan tengah, sedangkan tadahan hujan terendah terjadi di pesisir pantai selatan. Suhu udara bervariasi sejajar dengan bertambahnya ketinggian. Untuk setiap kenaikan ketinggian 100 m ( 900 kaki ), secara rata-rata suhu akan menurun 0.6 °C.

Papua terletak pada kedudukan 0° 19′ – 10° 45′ LS dan 130° 45′ – 141° 48′ BT, menempati sesetengah bahagian barat dari Papua New Guinea yang merupakan pulau terbesar kedua selepas Greenland. Secara fizikal, Papua merupakan daerah (provinsi) terbesar di Indonesia, dengan luas daratan 21,9% dari jumlah kesuluruhan tanah seluruh Indonesia iaitu 421,981 km², membujur dari barat ke timur (Sorong – Jayapura) sepanjang 1,200 km (744 batu) dan dari utara ke selatan (Jayapura- Merauke) sepanjang 736 km (456 batu).

Selain daripada tanah yang luas, Papua juga memiliki banyak pulau sepanjang pesisirannya. Di pesisiran utara terdapat Pulau Biak, Numfor, Yapen dan Mapia. Pada bahagian barat ialah Pulau Salawati, Batanta, Gag, Waigeo dan Yefman. Pada pesisiran Selatan terdapat pula Pulau Kalepon, Komoran, Adi, Dolak dan Panjang, sedangkan di bahagian timur bersempadan dengan Papua New Guinea.

    * Sosial budaya

Pada daerah-daerah Papua yang bervariasi topografinya terdapat ratusan kelompok etnik dengan budaya dan adat istiadat yang saling berbeza. Dengan mengacu pada perbezaan topografi dan adat istiadatnya maka secara amnya, penduduk Papua dapat di bezakan menjadi 3 kelompok besar iaitu:

    * Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum, rumah diatas tiang (rumah panggung), mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan.
    * Penduduk daerah pedalaman yang hidup pada daerah sungai, rawa, danau dan lembah serta kaki gunung. Pada umumnya bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan.
    * Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun beternak secara sederhana.

Pada umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan yang menganut garis ayah atau patrilinea.

Culture universal dari budaya Papua

Papua sebagai suatu wilayah Indonesia yang kaya akan kebudayaan sering terabaikan. Hal itu disebabkan wilayahnya yang cukup sulit dilalui.

Dalam hal ini Gasper mencoba membuka wacana tentang kebudayaan yang ada di Papua. Papua, berdasarkan letak geografi snya, dibedakan menjadikan dua tempat.

Pertama, kawasan pesisir pantai yang didiami oleh masyarakat pantai atau yang biasa disebut dengan panggilan orang pantai.

Kedua, daerah pegunungan yang didiami oleh masyarakat pegunungan atau yang biasa dipanggil dengan orang pedalaman. Berdasarkan tempat hidupnya, orang pantai terdiri dari berbagai macam suku.

Beberapa di antaranya Biak, Serui, Asmat, dan Sarmi. Lain halnya dengan orang pedalaman, yang mendiami pegunungan, terdiri dari beberapa suku, di antaranya Moni, Dani, Ekari, Nduga, dan Holani.
1. Budaya Tari-Tarian

Masyarakat pantai memiliki berbagai macam budaya tari-tarian yang biasa mereka sebut dengan Yosim Pancar (YOSPAN), yang didalamnya terdapat berbagai macam bentuk gerak seperti: (tari Gale-gale, tari Balada, tari Cendrawasih, tari Pacul Tiga, tari Seka, Tari Sajojo). Tarian yang biasa dibawakan oleh masyarakat pantai maupun masyarakat pegunungan pada intinya dimainkan atau diperankan dalam berbagai kesmpatan yang sama seperti: dalam penyambutan tamu terhormat, dalam penyambutan para turis asing dan yang paling sering dimainkan adalah dalam upacara adat. khususnya tarian panah biasanya dimainkan atau dibawakan oleh masyarakat pegunungan dalam acara pesta bakar batu atau yang biasa disebut dengan barapen oleh masyarakat pantai. tarian ini dibawakan oleh para pemuda yang gagah perkasa dan berani.

dengan budaya tarian Yospan maupun budaya tarian Panah yang unik, kaya dan indah tersebut para orangtua sejak dahulu berharap budaya yang telah mereka wariskan kepada generasi berikut tidak luntur, tidak tenggelam dan tidak terkubur oleh berbagai perkembangan zaman yang kian hari kian bertambah maju. para pendahulu yaitu para orangtua berharap juga budaya tarian-tarian yang telah mereka ciptakan dengan berbagai gelombang kesulitan, kesusahan dan keresahan tidak secepat dilupakan oleh generasi berikutnya. mereka juga berharap dengan tidak adanya budaya Papua yang kaya tersebut semakin maju, semakin dikenal baik oleh orang dikalangan dalam negeri sendiri maupun dikenal dikalangan luar negeri dan juga semakin berkembang kearah yang lebih baik yang intinya dapat tetap mengangkat derajat, martabat, dan harkat orang Papua.

Jenis tarian-tarian yang kita keal di Papua :

    * Tarian ular menghormati Maapuru puau (suku Komoro)

BEBERAPA laki-laki Kamoro sedang sibuk memilih batang pohon Kaukurako—sejenis kayu putih yang ringan—di hutan sekitar Pigapu. Setelah ada satu pohon Kaukurako yang dipilih, seorang diantara rombongan penebang membungkus tembakau dalam sebuah daun dan meletakkannya di bawah pohon sambil mengucapkan sesuatu. Pigapu adalah sebuah kampung yang letaknya sekitar 50 km dari Kota Timika. Dapat ditempuh selama 1,5 jam melalui jalan darat.

Lelaki-lelaki Kamoro ini, hendak memotong pohon Kaukurako sepanjang 1,5 meter untuk dibuat patung ular. Patung ular yang akan dibuat di rumah panggung besar ini bukan untuk cinderamata, tetapi untuk upacara ritual tari ular.

Tarian ini sangat sacral dalam kehidupan masyarakat Kamoro di Kampung Pigapu karena merupakan penghormatan pada leluhur Kampung Pigapu, Mapuru Puau. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebelum tarian ular digelar. Nama Mapuru Puau juga menyisakan kontraversi lantaran ada yang menyebutnya Mapurupiyu. Tarian ular pernah dipertunjukan saat warga Pigapu menggelar ritual adat pada peletakan batu pertama pendirian tuguh Mapuru Puau.

Selain itu hanya orang-orang tertentu, tetua adat atau keturunan Perapoka (Tete-Red) Mapuru, yang boleh terlibat sejak proses persiapan hingga tarian ular dilakukan. Bila hal ini dilanggar, pelakunya bisa jatuh sakit atau mengalami kesusahan dalam hidupnya.

Mapuru Puau, pada masa kecil hidup dalam situasi yang serba menyedihkan. Mapuru kecil selalu kelaparan dan hidup bergantung pada belas kasih orang lain. Untungnya penduduk Kampung Pigapu sangat mengasihi Mapuru.

Setelah dewasa, Mapuru Puau kemudian berumahtangga. Pada suatu hari keduanya pergi ke hutan untuk memangkur sagu. Ketika asik memangkur sagu Mapuru terpisah dari istrinya karena ditangkap seekor ular besar. Ular ini berjanji akan melepaskan Mapuru dengan sebuah syarat sebagai pantangan yang harus dipenuhi Mapuru.

Mapuru diminta tidak menyantap jenis ikan tertentu sepanjang hidupnya. Mapuru menyanggupi syarat ini dan kembali ke istrinya. Tetapi malang, pada suatu ketika pantangan ini dilanggar Mapuru. Sejak saat itu sosok Mapuru lenyap seperti ditelan bumi.

Penduduk Pigapu percaya kalau Mapuru sebetulnya tidak meninggal melainkan menghilang di suatu tempat. Tempat hilangnya Mapuru, jalan Timika-Mapurujaya, kini dibangun tugu dengan hiasan orang tua dengan dua ekor anjingnya yang kini persisnya berada di tepi jalan aspal yang menghubungkan Mapuru Jaya dan Timika. Sampai saat ini anak cucu dari Mapuru Puau tidak mengetahui secara pasti wajah dari leluhur mereka. Hal itu sempat menyulitkan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (LEMASKO) saat hendak mendirikan tugu Mapuru Puau karena ketidaktahuan wajah dari sang legendaries itu. Beruntung salah seorang cucu dari Mapuru Puau bermimpi dan dalam mimpi itu ia kedatangan leluhur dengan wajah sebagaimana saat ini terlihat berbentuk patung. Mimpi sang cucu itu kemudian dituangkan dalam bentuk gambar.

Persiapan tarian ular

Potongan batang pohon Kaukurako yang sudah dibawa pulang, kemudian diukir dan dipahat menyerupai kepala ular. Setelah selesai, kepala ular ini diwarnai dengan warna-warna tradisional. Bagian-bagian tubuh ular lainnya akan dirangkai secara bertahap, dan bagian mata ular akan dipasang paling akhir, beberapa saat sebelum tarian ular digelar.

Penduduk Pigapu percaya bahwa mata adalah simbol kehidupan, ketika dipasang di patung ular roh ular akan hidup dan menjaga penduduk Kampung Pigapu. Sambil menunggu hari pelaksanaan tarian, patung ular tanpa mata ini biasanya disimpan di rumah tetua adat.

Hari pementasan tari ular pun tiba, penduduk sudah mengenakan pakaian adat lengkap dengan berbagai asesorisnya. Ada yang memakai hiasan bulu burung kasuari. Sebagian lagi mengenakan hiasan burung Cenderawasih atau daun sagu kering.

Penduduk juga melumuri tubuh mereka dengan hiasan menggunakan kapur putih dan tanah merah. Sementara kaum perempuan menghiasi rambut mereka dengan bunga warna-warni. Semua berkumpul di rumah panggung besar untuk melaksanakan tarian ular. Sebelum pementasan, seorang lelaki Kamoro akan meniup mbiti—sepotong buluh yang mengeluarkan suara lenguhan keras—untuk mengundang seluruh penduduk agar segera berkumpul.

Sebelum patung ular dibawa keluar tetua adat memasang mata pada patung ular. Dalam tradisi ini, hanya tetua adat saja yang boleh membawa patung ular dan memasang mata patung ular. Emee (tifa-red) ditabuh mengiringi keluarnya patung ular dari dalam rumah.

Lagu rakyat Pigapu mulai dinyanyikan, dan perempuan-perempuan Kamoro yang sedang menuju rumah panggung besar, segera menggoyangkan tubuhnya seirama dengan bunyi tifa, sembari berjalan menuju tempat pelaksanaan tarian ular.

Patung ular kemudian di bawa keluar rumah, diiringi bunyi tetabuhan tifa dan lagu rakyat yang dinyanyikan bersaut-sautan. Sisiknya berwarna hitam legam, lidahnya berwarna merah menjulur keluar.

Suasana yang semua riuh dengan suara nyanyian dan pukulan tifa, tiba-tiba hening. Semua mata tertuju pada patung ular yang dibawa keluar oleh tetua adat. Rasa haru mulai merayap memenuhi ruang hati perempuan-perempuan Kamoro yang hadir.

Suara tetabuhan tifa dan nyanyian, kini berganti dengan isak tangis penduduk Pigapu. Mereka mengingat kembali penderitaan yang dialami Mapuru Puau ketika dibelit seekor ular besar.

Setelah usai, patung ular disimpan kembali. Menurut penduduk Pigapu, patung ular yang pernah dimainkan tidak boleh disimpan terus. Tubuh patung ular kemudian dibongkar hingga sosoknya tidak bersisa lagi.

Keesokan harinya, tetua adat Kampung Pigapu mengambil mata patung ular dan menguburnya tidak jauh dari tempat acara tarian ular dipergelarkan. Sementara potongan tubuh patung ular dikuburkan juga di tempat terpisah. Tetapi sebelumnya tetua adat mengambil sejumput tembakau dan disertakan bersama potongan-potongan tubuh patung ular. Sumber: LPMAK

    * Tari Manaweang (Yapen Barat)

Tari manaweang berasal dari Kabupaten Yapen Barat, yang menceritakan kisah seorang pemuda yang gagah dan mempunyai ilmu gaib tinggi, ilmu pemuda ini sering di sebut suanggi. Pemuda Suanggi ini suka membuat warga takut dan tidak bisa melakukan aktifitas sehari-hari seperti, nelayan dan bertani.

Menurut warga Yapen, setiap kali manaweang atau suanggi muncul, maka selalu ada korban jiwa. Perbuatan manaweang ini membuat masyarakat resah. Akhirnya kepala suku dan masyarakat sepakat untuk membunuh manaweang. Dan upaya kepala suku serta masyarakat pun berhasil membunuh pemuda manaweang.

Setelah manaweang dibunuh, masyarakat bersuka cita, karena sudah tidak ada manaweang atau suanggi lagi, yang mengganggu mereka

Tarian manaweang ini, ditarikan oleh empat belas orang, dengan menggunakan tujuh gerakan dasar tari.

    * Tejalu Meto’e

Kampung Te Tape atau yang lebih di kenal dengan Skow, terletak Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Di Kampung Skow Berdiam, Keret Rollo, Ramela, Patipeme dan Membilong.

Salah satu ceritra yang menarik dari keempat keret tersebut adalah Suku Membilong, menurut sejarah, mereka berasal dari Wutung, Vanimo, Papua New Guinea.

Kisah perjalanan Suku Membilong dari Wutung, sampai di Skow diceritakan ulang dalam bentuk tarian Tejalu Met’o.

Dengan Tarian Adat Tejalu Met’o, Suku Membilong mencari dana, untuk pembangunan gereja. Sebelum di lakukan tarian adapt, kaum ibu dan anak-anak menghiasi tubuh mereka dengan menggunakan daun bungga yang berwarna kuning, dan mayang pinang.

Daun berwarna kuning, yang digunakan di tubuh menandakan mama-mama yang cantik, manis, yang sudah melahirkan anak-anak peranakan, dari Suku Membilong.

Sedangkan mayang pinang atau weja merupakan simbol kehidupan, atau melambangkan kebiasaan masyarakan menankap udang, mecari bia dan melaut.

Dalam tarian tersebut, setiap anak-anak peranakan, wajib menggunakan daun kuning, sebagai simbol, bahwa anak tersebut adalah anak peranakan yang berasal dari suku Membilong.

Selain itu, mereka menggunakan kain yang bermotif Papua New Guinea sebagai tanda bahwa mereka berasal dari kampung mereka di Papua New Guinea.

Dalam tarian Tejalu Met’o daun kelapa yang dipikul, merupakan simbol layar perahu, dan pelepah kelapa sebagai dayung dayungnya. Simbol tersebut merupakan peralatan yang dibawa suku Membilong saat bermigrasi ke kampung Skow Yambe.Mereka juga menggunakan la atau noken dari daun kelapa untuk menaruh ikan, dan taa sebagai kalawai untuk menangkap ikan.

Lagu yang di nyanyikan menceritkan, kehidupan anak dari suku Membilong, yang di tinggalkan oleh orang tua, karena meninggal, dan mereka harus mencari makan sendiri.

    * Tarian Iyaphae Oophae (Babrongko Sentani)

Papua, memilki tiga ratus duabelas suku, yang memilki tradisi dalam kehidupan sehari-hari, salah satu tradisi tersebut adalah proses pembangunan rumah kepala suku atau ondoafi.

Untuk membangun rumah kepala suku di perlukan, tiang penyangga yang dalam bahasa Sentani di sebut bombei. Kayu bombei yang di gunakan, harus diukir terlebih dahulu dengan motif ukiran buaya. Ukiran tersebut melambangkan bahwa suku tersebut berasal dari kampong Babrongko di Danau Sentani.

Untuk melestarikan dan menceritakan budaya mengukir tersebut, suku Babrongko yang berada di pinggir Danau Sentani, membuatnya dalam bentuk Mande.

Sedangkan tarian Iyaphae Oophae adalah proses mengantar kayu yanag telah di ukir, tarian ini akan diiringi dengan nyanyian yang menggunakan alat musik wahkku atau tifa.

Dalam tarian tersebut, penari membawakan kayu yang di gunakan untuk membuat rumah, dengan menggangkat salah seorang yang dianggap tokoh untuk dapat memberikan komando kepada penari. (Andy Tagihuma)

    * Tarian akhokoy (Yoka, Sentani)

Ratusan tahun yang lalu, di Kampung Honom Papua New Guinea,  berdiam satu suku besar yang hidup dengan damai.Kedamain di Kampung Honom terusik dengan dibunuhnya putra mahkota, anak kepala suku. Akibat pembunuhan tersebut, Suku Honom dibagi-bagi menjadi 12 suku.

Salah satu suku dari 12 suku tersebut melakukan perjalanan ke arah Barat hingga tiba Sentani Papua sebagai tempat perhentian akhir mereka dan mereka namakan Kampung Yoka Hebheybulu. Tempat itu mereka namakan Yoka yang artinya Tempat yang menghasilkan ikan.
2. Budaya Perkawinan

Perkawinan merupakan kebutuhan yang paling mendesak bagi semua orang. dengan demikian masyarakat Papua baik yang di daerah pantai maupun daerah pegunungan menetapkan peraturan itu dalam peraturan adat yang intinya agar masyarakat tidak melanggar dan tidak terjadi berbagai keributan yang tidak diinginkan. dalam pertukaran perkawinan yang di tetapkan orangtua dari pihak laki-laki berhak membayar mas kawin seebagai tanda pembelian terhadap perempuan atau wanita tersebut.

adapun untuk masyarakat pantai berbagai macam mas kawin yang harus dibayar seperti: membayar piring gantung atau piring belah, gelang, kain timur (khusus untuk orang di daerah Selatan Papua) dan masih banyak lagi. berbeda dengan permintaan yang diminta oleh masyarakat pegunungan diantaranya seperti: kulit bia (sejenis uang yang telah beredar di masyarakat pegunugan sejak beberapa abad lalu), babi peliharaan, dan lain sebagainya. dalam pembayaran mas kawin akan terjadi kata sepakat apabila orangtua dari pihak laki-laki memenuhi seluruh permintaan yang diminta oleh orangtua daripada pihak perempuan.

3. Agama.

Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal ketuhanan, Papua dapat dijadikan contoh bagi daerah lain. Majoriti penduduk Papua beragama Kristian, namun demikian, seiring dengan perkembangan kemudahan pengangkutan dari dan ke Papua maka jumlah orang yang beragama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Banyak mubaligh sama ada orang asing mahupun rakyat Indonesia sendiri yang melakukan misi keagamaannya di pedalaman-pedalaman Papua. Mereka berperanan penting dalam membantu masyarakat sama ada melalui sekolah-sekolah mubaligh, bantuan perubatan mahupun secara langsung mendidik masyarakat pedalaman dalam bidang pertanian, mengajar Bahasa Indonesia dan pengetahuan-pengetahuan amali yang lain – lainnya. Mubaligh juga merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum dibina oleh penerbangan biasa.

4. Bahasa

Di Papua ini terdapat ratusan bahasa daerah yang berkembang pada kelompok etnik yang ada. Aneka pelbagai bahasa ini telah menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi antara satu kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya. Oleh sebab itu, Bahasa Indonesia digunakan secara rasmi oleh masyarakat-masyarakat di Papua bahkan hingga ke pedalaman.

Sumber :

http://budayapapua.wordpress.com

2 komentar:

  1. Suku asmat memiliki budaya dan kearifan lokal yang perlu dijaga.
    Menjaga kebersihan kulit juga patut dilakukan. Manfaat sabun Black Walet sangat baik untuk mengatasi berbagai permasalahan kulit wajah dan badan.

    BalasHapus

Arsip Blog

Visitor

Popular Posts

Donate To Me On Paypal

https://www.paypal.me/riyanto1971