Selasa, 25 Juni 2013

Nama asli pulau Sumatera, sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, adalah “Pulau Emas”. Istilah pulau ameh kita jumpai dalam cerita Cindur Mata dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau mereka yang besar itu. Pendeta I-tsing (634-713) dari Cina, yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut pulau Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti “negeri emas”.

Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa.

tarian gending sriwijaya cybermales
Para musafir Arab menyebut pulau Sumatera dengan nama Serendib ( tepatnya: Suwarandib ), transliterasi dari nama Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib. Cuma entah kenapa, ada juga orang yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilanka, yang tidak pernah disebut Suwarnadwipa!

Di kalangan bangsa Yunani purba, Pulau Sumatera sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatera, yang terkenal sejak zaman purba sebagai penghasil kapur barus.

Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, yang artinya ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi tanah air kita, terutama Sumatera. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah menjajakan komoditi mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.

Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan beliau. Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).

Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah itu? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera! Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman a.s.

Lalu dari manakah gerangan nama “Sumatera” yang kini umum digunakan baik secara nasional maupun oleh dunia internasional? Ternyata nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang pernah disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis. Memang orang Eropa seenaknya saja mengubah-ubah nama tempat. Hampir saja negara kita bernama “Hindia Timur” (East Indies), tetapi untunglah ada George Samuel Windsor Earl dan James Richardson Logan yang menciptakan istilah Indonesia, sehingga kita-kita ini tidak menjadi orang “Indian”! (Lihat artikel penulis, “Asal-Usul Nama Indonesia”, Harian Pikiran Rakyat, Bandung, tanggal 16 Agustus 2004, yang telah dijadikan salah satu referensi dalam Wikipedia artikel “Indonesia”).

Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.

Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau Samatrah. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama Camatarra. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama Samatara, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama Samatra. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu Camatra, dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya Camatora. Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: Somatra. Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: Samoterra, Samotra, Sumotra, bahkan Zamatra dan Zamatora.

Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah kita: Sumatera.

Arti kata Palembang = Pelimbangan = ( pelimbang emas ) = swarnadwipha ( sanskerta ) = pulau emas
Rasanya tidak berlebihan ungkapan tersebut karena sampai sekarang sumatera selatan = palembang merupakan provinsi paling komplet soal kekayaan alamnya, semua ada di bumi sriwijaya.

Sekilas tentang kerajaan sriwijaya ( palembang )

Ilmu Pengetahuan Mengenai Sejarah Kerajaan Sriwijaya Baru Lahir Pada Permulaan Abad Ke-20 M, Ketika George Coedes Menulis Sebuah Karangannya Mengenai Kerajaan Sriwijaya Berjudul Le Royaume De Crivijaya Pada Tahun 1918 M. Sebenarnya, Lima Tahun Sebelum Itu, Yaitu Pada Tahun 1913 M, Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka.

Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja. Pada Tahun 1896 M, Sarjana Jepang Takakusu Menerjemahkan Karya I-Tsing, Nan-Hai-Chi-Kuei-Nai Fa-Chan Ke Dalam Bahasa Inggris Dengan Judul A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago.

Namun, Dalam Buku Tersebut Tidak Terdapat Nama Kerajaan Sriwijaya, Yang Ada Hanya Shih-Li-Fo-Shih. Dari Terjemahan Prasasti Kota Kapur Yang Memuat Nama Kerajaan Sriwijaya Dan Karya I-Tsing Yang Memuat Nama Shih-Li-Fo-Shih, Coedes Kemudian Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.

Banyak Dugaan Bahwa Awal Masuknya Agama Buddha Ke Indonesia Adalah Pada Kedatangan Aji Saka Ke Tanah Jawa Pada Awal Abad Kesatu. Dugaan Ini Berawal Dari Etimologis Terhadap Kata Aji Saka Itu Sendiri, Serta Hal-Hal Yang Berkaitan Dengannya. Kata " Aji " Dalam Bahasa Kawi Bisa Berarti Ilmu Yang Ada Hubungannya Dengan Kitab Suci, Sedangkan " Saka " Ditafsirkan Sebagai Kata Sakya Yang Mengalami Transformasi.

prasati bukit siguntang mahameru
Dengan Demikian Mungkin Kata Aji Saka Ditafsirkan Sebagai Gelar Raja Tritustha Yang Ahli Mengenai Kitab Suci Sakya, Dalam Hal Ini Ahli Tentang Buddha Dhamma, Selain Dianggap Sebagai Orang Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pembuatan Aksara Jawa. Bila Hal Ini Benar, Tarikh Saka Yang Permulaanya Dinyatakan Sebagai " Nir Wuk Tanpa Jalu " [ Nir Berarti Kosong [ 0 ], Wuk Berarti Tidak Jadi [ 0 ], Tanpa Berarti 0 Dan Jalu Sama Dengan 1 ] Yang Sekaligus Dimaksudkan Untuk Mengabadikan Pendaratan Pertama Aji Saka Di Jepara.

Lebih Lanjut, Coedes Juga Menetapkan Bahwa, Letak Ibukota Kerajaan Sriwijaya Adalah Palembang, Dengan Bersandar Pada Anggapan Groeneveldt Dalam Karangannya, Notes On The Malay Archipelago And Malacca, Compiled From Chinese Source, Yang Menyatakan Bahwa, San-Fo-Tsi Adalah Palembang.
Sumber Lain Yang Juga Menunjukan Hal Yang Sama, Yaitu Beal Mengemukakan Pendapatnya Pada Tahun 1886 Bahwa, Shih-Li-Fo-Shih Merupakan Suatu Daerah Yang Terletak Di Tepi Sungai Musi, Dekat Kota Palembang Sekarang. Dari Pendapat Ini, Kemudian Muncul Suatu Kecenderungan Di Kalangan Sejarawan Untuk Menganggap Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Banyak Sumber Pengetahuan Kita Tentang Agama Buddha Diambil Dari Prasasti Yang Ditemukan Dan Dari Catatan-Catatan Luar Negri, Yaitu Dari Orang China Yang Mengunjungi Indonesia. Prasasti Yang Berasal Dari Abad Kelima Hingga Ketujuh Tidak Terlalu Banyak Memberikan Informasi. Prasasti Itu Berasal Dari Kalimantan, Sumatra Dan Jawa.

Dari Prasasti Itu Kita Hanya Mengetahui Bahwa Pada Waktu Itu Ada Raja-Raja Yang Memiliki Nama Yang Berbau India, Seperti Mulawarman Di Kutti Dan Purnawarman Di Jawa-Barat. Tetapi Hal Itu Tidak Berarti Bahwa Raja Tersebut Berasal Dari India. Yang Paling Mungkin Adalah Raja-Raja Tersebut Adalah Orang Indonesia Asli Yang Sudah Masuk Agama Yang Datang Dari India. Selanjutnya Prasasti Tersebut Menunjukan Bahwa Agama Yang Dipeluk Adalah Agama Hindu. Tapi Dari Penemuan Patung-Patung Buddha, Dapat Disimpulkan Bahwa Agama Buddha Juga Sudah Ada, Walaupun Jumlahnya Masih Sedikit.

Sumber Lain Yang Mendukung Keberadaan Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya Adalah Prasasti Telaga Batu. Prasasti Ini Berbentuk Batu Lempeng Mendekati Segi Lima, Di Atasnya Ada Tujuh Kepala Ular Kobra, Dengan Sebentuk Mangkuk Kecil Dengan Cerat [ Mulut Kecil Tempat Keluar Air ] Di Bawahnya. Menurut Para Arkeolog, Prasasti Ini Digunakan Untuk Pelaksanaan Upacara Sumpah Kesetiaan Dan Kepatuhan Para Calon Pejabat Di Kerajaan Sriwijaya.


Dalam Prosesi Itu, Pejabat Yang Disumpah Meminum Air Yang Dialirkan Ke Batu Dan Keluar Melalui Cerat Tersebut. Sebagai Sarana Untuk Upacara Persumpahan, Prasasti Seperti Itu Biasanya Ditempatkan Di Pusat Kerajaan. Karena Ditemukan Di Sekitar Palembang Pada Tahun 1918 M, Maka Diduga Kuat Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya,

Beberapa Ahli Mengatakan Bahwa Ye-Po-Ti Adalah Jawa [ Javadvipa ]. Fah-Hien Menyebutkan Ada Umat Buddha Di Ye-Po-Ti, Walaupun Cuma Sedikit. Sekalipun Demikian Agaknya Sesudah Abad Kelima Keadaan Berubah. Tidak Sampai Tiga Ratus Tahun Kemudian, Pada Akhir Abad Ketujuh, Biksu China I-Tsing Mencatat Dengan Lengkap Agama Buddha Dan Aplikasinya Di India Dan Melayu.

Ketertarikan Utamanya Adalah Pada " Rumah Agama Buddha " India Utara Dimana I-Tsing Tinggal Dan Belajar Disana Selama Lebih Dari Sepuluh Tahun. Dari Catatannya Dapat Dikatakan Bahwa Agama Buddha Di India Dan Sumatra Mempunyai Banyak Kesamaan, Dimana I-Tsing Juga Menemukan Perbedaan Antara Agama Buddha Di China Dan Di India. I-Tsing Menghabiskan Waktunya Hidup Sendirian Sebagai Biksu Di India Dan Sumatra. Seluruh Bukunya Merupakan Catatan Lengkap Tentang Kehidupan Biarawan. Ia Tinggal Di India Seluruhnya Berdasarkan Peraturan Vinnaya.

Bila Dibandingkan Catatan Fah-Hien Tahun 414 Dengan Catatan I-Tsing, Dapat Diambil Kesimpulan Bahwa Agama Buddha Dipulau Jawa Dan Sumatra Telah Dibangun Dengan Sangat Cepat. Pekerjaan I-Tsing Selain Menulis Catatan Seperti Dikemukakan Diatas, Ia Juga Menulis Buku Tentang Perjalanan Seorang Guru Agama Terkenal Yang Pergi Ke Negri Disebelah Barat [ Kerajaan Sriwijaya ? ].

Diceritakannya Pada Catatannya Itu, Kehidupan Biarawan Yang Pada Intinya Hampir Sama Dengan Yang Ada Di India. Dalam Bukunya Dikatakan Bahwa Biksu Asli Jawa Dan Sumatra Adalah Sarjana Sanskrit Yang Sangat Bagus. Salah Saatunya Adalah Jnanabhadra Yang Merupakan Orang Jawa Asli Yang Tinggal Di Sumatra Dan Bertindak Sebagai Guru Bagi Biksu China Dan Membantu Menterjemahkan Sutra Kedalam Bahasa China. Bahasa Yang Digunakan Oleh Biksu Buddha Adalah Bahasa Sanskrit.

Bahasa Pali Tidak Digunakan. Bagaimanapun Hal Ini Tidak Boleh Dijadikan Patokan Bahwa Agama Buddha Yang Berkembang Disini Adalah Mahayana. I-Tsing Menjelaskan Dalam Bukunya. Agama Buddha Dipeluk Diseluruh Negri Ini Dan Kebanyakan Sistem Yang Diadopsi Adalah Hinayana, Kecuali Di Melayu Dimana Ada Sedikit Yang Mengadopsi Mahayana. Sudah Banyak Diketahui Umum Bahwa Literatur Agama Buddha Berbahasa Sanskrit Tidak Melulu Berarti Mahayana.

Inilah Bentuk Agama Buddha Yang Mencapai Kepulauan Di Laut Selatan. I-Tsing Mengatakan Di Kepulauan Di Laut Selatan, Mulasarvastivadanikayo Hampir Secara Universal Di Adaptasi. I-Tsing Tampaknya Tidak Mempermasalahkan Perbedaan Antara Penganut Hinayana Dan Mahayana. Dikatakannya :
Mereka Yang Menyembah Bodhisatta Dan Membaca Sutra Mahayana Disebut Penganut Mahayana. Sementara Yang Tidak Disebut Penganut Hinayana. Kedua Sistem Ini Sesuai Dengan Ajaran Dhamma.

Dapatkah Kita Katakan Mana Yang Benar? Keduanya Mengajarkan Kebajikan Dan Membimbing Kita Ke Nirvana. Keduanya Menuju Kepada Pemusnahan Nafsu Dan Penyelamatan Semua Mahluk Hidup. Kita Tidak Boleh Mempersoalkan Perbedaan Ini. Membuat Keraguan Yang Malah Akan Membuat Kebingungan. Dari Karya-Karyanya Dapat Dikatakan Bahwa I-Tsing Tidaklah Terlalu Dalam Bergelut Dalam Masalah Filosofi Buddhis Tetapi Hanya Tertarik Pada Kehidupan Biarawan Dan Tugas-Tugas Yang Diemban Oleh Mereka. Dengan Kata Lain, Ia Memberikan Seluruh Waktunya Untuk Belajar Vinnaya Dan Kehidupan Biarawan
Sebagai Pusat Kerajaan, Kondisi Palembang Ketika Itu Bersifat Mendesa [ Rural ], Tidak Seperti Pusat-Pusat Kerajaan Lain Yang Ditemukan Di Wilayah Asia Tenggara Daratan, Seperti Di Thailand, Kamboja, Dan Myanmar. Bahan Utama Yang Dipakai Untuk Membuat Bangunan Di Pusat Kota Kerajaan Sriwijaya Adalah Kayu Atau Bambu Yang Mudah Didapatkan Di Sekitarnya. Oleh Karena Bahan Itu Mudah Rusak Termakan Zaman, Maka Tidak Ada Sisa Bangunan Yang Dapat Ditemukan Lagi.

Kalaupun Ada, Sisa Pemukiman Dengan Konstruksi Kayu Tersebut Hanya Dapat Ditemukan Di Daerah Rawa Atau Tepian Sungai Yang Terendam Air, Bukan Di Pusat Kota, Seperti Di Situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang Ada Bangunan Yang Dibuat Dari Bahan Bata Atau Batu, Tapi Hanya Bangunan Sakral [ Keagamaan ], Seperti Yang Ditemukan Di Palembang, Di Situs Gedingsuro, Candi Angsoka, Dan Bukit Siguntang, Yang Terbuat Dari Bata. Sayang Sekali, Sisa Bangunan Yang Ditemukan Tersebut Hanya Bagian Pondasinya Saja.

Seiring Perkembangan, Semakin Banyak Ditemukan Data Sejarah Berkenaan Dengan Kerajaan Sriwijaya. Selain Prasasti Kota Kapur, Juga Ditemukan Prasasti Karang Berahi [ Ditemukan Tahun 1904 M ], Telaga Batu [ Ditemukan Tahun 1918 M ], Kedukan Bukit [ Ditemukan Tahun 1920 M ] Talang Tuo [ Ditemukan Tahun 1920 M ] Dan Boom Baru.

Di Antara Prasasti Di Atas, Prasasti Kota Kapur Merupakan Yang Paling Tua, Bertarikh 682 M, Menceritakan Tentang Kisah Perjalanan Suci Dapunta Hyang Dari Minanga Dengan Perahu, Bersama Dua Laksa [ 20.000 ] Tentara Dan 200 Peti Perbekalan, Serta 1.213 Tentara Yang Berjalan Kaki. Perjalanan Ini Berakhir Di Mukha-P. Di Tempat Tersebut, Dapunta Hyang Kemudian Mendirikan Wanua [ Perkampungan ] Yang Diberi Nama Kerajaan Sriwijaya.

Dalam Prasasti Talang Tuo Yang Bertarikh 684 M, Disebutkan Mengenai Pembangunan Taman Oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa Untuk Semua Makhluk, Yang Diberi Nama Sriksetra. Dalam Taman Tersebut, Terdapat Pohon-Pohon Yang Buahnya Dapat Dimakan. Data Tersebut Semakin Lengkap Dengan Adanya Berita Cina Dan Arab. Sumber Cina Yang Paling Sering Dikutip Adalah Catatan I-Tsing.

Ia Merupakan Seorang Peziarah Budha Dari China Yang Telah Mengunjungi Kerajaan Sriwijaya Beberapa Kali Dan Sempat Bermukim Beberapa Lama. Kunjungan I-Sting Pertama Adalah Tahun 671 M. Dalam Catatannya Disebutkan Bahwa, Saat Itu Terdapat Lebih Dari Seribu Orang Pendeta Budha Di Kerajaan Sriwijaya. Aturan Dan Upacara Para Pendeta Budha Tersebut Sama Dengan Aturan Dan Upacara Yang Dilakukan Oleh Para Pendeta Budha Di India
I-Tsing Tinggal Selama 6 Bulan Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Belajar Bahasa Sansekerta, Setelah Itu, Baru Ia Berangkat Ke Nalanda, India. Setelah Lama Belajar Di Nalanda, I-Tsing Kembali Ke Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 685 Dan Tinggal Selama Beberapa Tahun Untuk Menerjemahkan Teks-Teks Budha Dari Bahasa Sansekerta Ke Bahasa Cina. Catatan Cina Yang Lain Menyebutkan Tentang Utusan Kerajaan Sriwijaya Yang Datang Secara Rutin Ke Cina, Yang Terakhir Adalah Tahun 988 M.

Dalam Sumber Lain, Yaitu Catatan Arab, Kerajaan Sriwijaya Disebut Sribuza. Masudi, Seorang Sejarawan Arab Klasik Menulis Catatan Tentang Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 955 M. Dalam Catatan Itu, Digambarkan Kerajaan Sriwijaya Merupakan Sebuah Kerajaan Besar, Dengan Tentara Yang Sangat Banyak.

Hasil Bumi Kerajaan Sriwijaya Adalah Kapur Barus, Kayu Gaharu, Cengkeh, Kayu Cendana, Pala, Kardamunggu, Gambir Dan Beberapa Hasil Bumi Lainya. Dari Catatan Asing Tersebut, Bisa Diketahui Bahwa Kerajaan Sriwijaya Merupakan Kerajaan Besar Pada Masanya, Dengan Wilayah Dan Relasi Dagang Yang Luas Sampai Ke Madagaskar.

Sejumlah Bukti Lain Berupa Arca, Stupika, Maupun Prasasti Lainnya Semakin Menegaskan Bahwa, Pada Masanya Kerajaan Sriwijaya Adalah Kerajaan Yang Mempunyai Komunikasi Yang Baik Dengan Para Saudagar Dan Pendeta Di Cina, India Dan Arab. Hal Ini Hanya Mungkin Bisa Dilakukan Oleh Sebuah Kerajaan Yang Besar, Berpengaruh, Dan Diperhitungkan Di Kawasannya.

Seperti Dikemukakan Diatas, Di Sumatra Dan Jawa Lebih Berkembang Hinayana. I-Tsing Menceritakan Bahwa Di Melayu, Ditengah-Tengah Pesisir Timur Sumatra Ada Pula Yang Menganut Mahayana. Dari Sumber Lain Dijelaskan Bahwa Sebelum Kedatangan I-Tsing, Telah Datang Biksu Dari India Dharmapala, Ke Melayu Dan Menyebarkan Aliran Mahayana.

Awal Abad Ke-20, Dua Prasasti Ditemukan Di Dekat Palembang Yang Bercorak Mahayana. Prasasti Lain Yang Dibuat Tahun 775, Ditemukan Di Viengsa, Semenanjung Melayu Mengemukakan Bahwa Salah Satu Raja Kerajaan Sriwijaya Dari Keturunan Syailendra - Yang Tidak Cuma Memerintah Di Selatan Sumatra Tapi Juga Dibagian Selatan Semenanjung Melayu - Memerintahkan Pembangunan Tiga Stupa. Ketiga Stupa Tersebut Dipersembahkan Kepada Buddha, Bodhisatwa Avalokitesvara Dan Vajrapani. Dan Ditempat Lain Ditemukan Plat Emas Yang Bertuliskan Beberapa Nama Dyani Buddha, Yang Jelas-Jelas Merupakan Aliran Mahayana.

Dari Berita I-Tsing Itu Selanjutnya Kita Dapat Mengambil Kesimpulan Bahwa Pada Waktu Itu Kerajaan Sriwijaya Menjadi Pusat Agama Buddha. Disana Terdapat Sebuah Perguruan Tinggi Buddha Yang Tidak Kalah Dengan Perguruan Yang Ada Di Nalanda India. Ada Lebih Dari 1000 Biksu Yang Ajaran Serta Tata Upacaranya Sama Dengan Yang Ada Di India.

Kecuali Pengikut Hinayana, Di Kerajaan Sriwijaya Juga Terdapat Pengikut Mahayana. Bahkan Ada Guru Mahayana Yang Mengajar Disitu. Dari Berita Ini Jelas Bahwa Kerajaan Sriwijaya Adalah Pusat Agama Buddha Mahayana, Yang Terbuka Bagi Gagasan Baru Dan Yang Juga Senang Mengadakan Pekerjaan Ilmiah. Oleh Karena Itu Musafir China Yang Ingin Belajar Di India Pasti Singgah Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Mengadakan Persiapan. Hal Itu Juga Dilakukan Oleh I-Tsing Sendiri.

PALEMBANG PUSAT KERAJAAN SRIWIJAYA

Pada Tahun 1913 M, Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka. Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja.
George Coedes Dalam Tulisannya Mengenai Kerajaan Sriwijaya Berjudul Le Royaume De Crivijaya Pada Tahun 1918 M, Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.

BKB benteng kuto besak
Sarjana Jepang Takakusu Menerjemahkan Karya I-Tsing, Nan-Hai-Chi-Kuei-Nai Fa-Chan Ke Dalam Bahasa Inggris Dengan Judul A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago. Namun, Dalam Buku Tersebut Tidak Terdapat Nama Kerajaan Sriwijaya, Yang Ada Hanya Shih-Li-Fo-Shih. Dari Terjemahan Prasasti Kota Kapur Yang Memuat Nama Kerajaan Sriwijaya Dan Karya I-Tsing Yang Memuat Nama Shih-Li-Fo-Shih, Coedes Kemudian Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.

Lebih Lanjut, Coedes Juga Menetapkan Bahwa, Letak Ibukota Kerajaan Sriwijaya Adalah Palembang, Dengan Bersandar Pada Anggapan Groeneveldt Dalam Karangannya, Notes On The Malay Archipelago And Malacca, Compiled From Chinese Source, Yang Menyatakan Bahwa, San-Fo-Tsi Adalah Palembang. Sumber Lain, Yaitu Beal Mengemukakan Pendapatnya Pada Tahun 1886 Bahwa, Shih-Li-Fo-Shih Merupakan Suatu Daerah Yang Terletak Di Tepi Sungai Musi, Dekat Kota Palembang Sekarang. Dari Pendapat Ini, Kemudian Muncul Suatu Kecenderungan Di Kalangan Sejarawan Untuk Menganggap Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Sumber Lain Yang Mendukung Keberadaan Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya Adalah Prasasti Telaga Batu. Prasasti Ini Berbentuk Batu Lempeng Mendekati Segi Lima, Di Atasnya Ada Tujuh Kepala Ular Kobra, Dengan Sebentuk Mangkuk Kecil Dengan Cerat [ Mulut Kecil Tempat Keluar Air ] Di Bawahnya. Menurut Para Arkeolog, Prasasti Ini Digunakan Untuk Pelaksanaan Upacara Sumpah Kesetiaan Dan Kepatuhan Para Calon Pejabat Di Kerajaan Sriwijaya. Dalam Prosesi Itu, Pejabat Yang Disumpah Meminum Air Yang Dialirkan Ke Batu Dan Keluar Melalui Cerat Tersebut. Sebagai Sarana Untuk Upacara Persumpahan, Prasasti Seperti Itu Biasanya Ditempatkan Di Pusat Kerajaan. Karena Ditemukan Di Sekitar Palembang Pada Tahun 1918 M, Maka Diduga Kuat Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Petunjuk Lain Yang Menyatakan Bahwa Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya Juga Diperoleh Dari Hasil Temuan Barang-Barang Keramik Dan Tembikar Di Situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang Dan Kambang Unglen, Semuanya Di Daerah Palembang. Keramik Dan Tembikar Tersebut Merupakan Alat Yang Digunakan Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Temuan Ini Menunjukkan Bahwa, Pada Masa Dulu, Di Palembang Terdapat Pemukiman Kuno. Dugaan Ini Semakin Kuat Dengan Hasil Interpretasi Foto Udara Di Daerah Sebelah Barat Kota Palembang, Yang Menggambarkan Bentuk-Bentuk Kolam Dan Kanal. Kolam Dan Kanal-Kanal Yang Bentuknya Teratur Itu Kemungkinan Besar Buatan Manusia, Bukan Hasil Dari Proses Alami. Dari Hasil Temuan Keramik Dan Kanal-Kanal Ini, Maka Dugaan Para Arkeolog Bahwa Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya Semakin Kuat.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Diantaranya Adalah Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka. Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Lain Adalah Prasasti Telaga Batu. Prasasti Telaga Batu Berbentuk Batu Lempeng Mendekati Segi Lima, Di Atasnya Ada Tujuh Kepala Ular Kobra, Dengan Sebentuk Mangkuk Kecil Dengan Cerat [ Mulut Kecil Tempat Keluar Air ] Di Bawahnya. Menurut Para Arkeolog, Prasasti Ini Digunakan Untuk Pelaksanaan Upacara Sumpah Kesetiaan Dan Kepatuhan Para Calon Pejabat Di Kerajaan Sriwijaya. Dalam Prosesi Itu, Pejabat Yang Disumpah Meminum Air Yang Dialirkan Ke Batu Dan Keluar Melalui Cerat Tersebut. Sebagai Sarana Untuk Upacara Persumpahan, Prasasti Seperti Itu Biasanya Ditempatkan Di Pusat Kerajaan. Karena Ditemukan Di Sekitar Palembang Pada Tahun 1918 M, Maka Diduga Kuat Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Masih Ada Lagi Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Lainnya, Yaitu Barang-Barang Keramik Dan Tembikar. Peninggalan Berupa Barang-Barang Keramik Dan Tembikar Ini Ditemukan Di Situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang Dan Kambang Unglen. Kesemuanya Di Daerah Palembang. Keramik Dan Tembikar Tersebut Merupakan Alat Yang Digunakan Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Temuan Ini Menunjukkan Bahwa, Pada Masa Dulu, Di Palembang Terdapat Pemukiman Kuno. Dugaan Ini Semakin Kuat Dengan Hasil Interpretasi Foto Udara Di Daerah Sebelah Barat Kota Palembang, Yang Menggambarkan Bentuk-Bentuk Kolam Dan Kanal. Kolam Dan Kanal-Kanal Yang Bentuknya Teratur Itu Kemungkinan Besar Buatan Manusia, Bukan Hasil Dari Proses Alami.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Berupa Prasasti Selain Prasasti Kota Kapur Adalah Prasasti Karang Berahi [ Ditemukan Tahun 1904 M ], Prasasti Telaga Batu [ Ditemukan Tahun 1918 M ], Prasasti Kedukan Bukit [ Ditemukan Tahun 1920 M ], Prasasti Talang Tuo [ Ditemukan Tahun 1920 M ] Dan Boom Baru. Di Antara Prasasti Di Atas, Prasasti Kota Kapur Merupakan Yang Paling Tua, Berangka Tahun 682 M, Menceritakan Tentang Kisah Perjalanan Suci Dapunta Hyang Dari Minanga Dengan Perahu, Bersama Dua Laksa [ 20.000 ] Tentara Dan 200 Peti Perbekalan, Serta 1.213 Tentara Yang Berjalan Kaki. Perjalanan Ini Berakhir Di Mukha-P. Di Tempat Tersebut, Dapunta Hyang Kemudian Mendirikan Wanua [ Perkampungan ] Yang Diberi Nama Sriwijaya.

Dalam Prasasti Talang Tuo Yang Bertarikh 684 M, Disebutkan Mengenai Pembangunan Taman Oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa Untuk Semua Makhluk, Yang Diberi Nama Sriksetra. Dalam Taman Tersebut, Terdapat Pohon-Pohon Yang Buahnya Dapat Dimakan.

Dari Prasasti Kota Kapur Yang Ditemukan JK Van Der Meulen Di Pulau Bangka Pada Bulan Desember 1892 M, Diperoleh Petunjuk Mengenai Kerajaan Sriwijaya Yang Sedang Berusaha Menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun Tidak Dijelaskan Wilayah Mana Yang Dimaksud Dengan Bhumi Jawa Dalam Prasasti Itu, Beberapa Arkeolog Meyakini, Yang Dimaksud Bhumi Jawa Itu Adalah Kerajaan Tarumanegara Di Pantai Utara Jawa Barat. Selain Dari Isi Prasasti, Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Juga Bisa Diketahui Dari Persebaran Lokasi Prasasti-Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Tersebut. Di Daerah Lampung Ditemukan Prasasti Palas Pasemah, Di Jambi Ada Karang Berahi, Di Bangka Ada Kota Kapur, Di Riau Ada Muara Takus. Semua Ini Menunjukkan Bahwa, Daerah-Daerah Tersebut Pernah Dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Sumber Lain Ada Yang Mengatakan Bahwa, Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Sebenarnya Mencapai Philipina. Ini Merupakan Bukti Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Pernah Menguasai Sebagian Besar Wilayah Nusantara.

Dalam Relasinya Dengan India, Raja-Raja Kerajaan Sriwijaya Bukan Saja Membangun Prasasti Di Wilayah Kerajaan Sriwijaya, Tetapi Juga Membangun Bangunan Suci Agama Budha Di India. Fakta Ini Tercantum Dalam Dua Buah Prasasti, Yaitu Prasasti Raja Dewapaladewa Dari Nalanda, Yang Diperkirakan Berasal Dari Abad Ke-9 M, Dan Prasasti Raja Rajaraja I Yang Berangka Tahun 1044 M Dan 1046 M. Prasasti Prasasti Raja Dewapaladewa Dari Nalanda Menyebutkan Tentang Raja Balaputradewa Dari Suwarnadwipa [ Kerajaan Sriwijaya ] Yang Membangun Sebuah Biara. Sementara Prasasti Raja Rajaraja I Menyebutkan Tentang Raja Kataha Dan Kerajaan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman Yang Memberi Hadiah Sebuah Desa Untuk Dipersembahkan Kepada Sang Buddha Yang Berada Dalam Biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.

Salah Satu Catatan Tentang Kerajaan Sriwijaya Adalah Catatan Perjalanan I-Tsing. Dalam Catatan I-Tsing Ini Disebutkan Bahwa, Pada Saat Itu, Di Kerajaan Sriwijaya Terdapat Seribu Pendeta. Dalam Perjalanan Pertamanya, I-Tsing Sempat Bermukim Selama Enam Bulan Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Mendalami Bahasa Sansekerta. I-Tsing Juga Menganjurkan, Jika Seorang Pendeta Cina Ingin Belajar Ke India, Sebaiknya Belajar Dulu Setahun Atau Dua Tahun Di Fo-Shih [ Palembang ], Baru Kemudian Belajar Di India.

Sepulangnya Dari Nalanda, I-Tsing Menetap Di Kerajaan Sriwijaya Selama Tujuh Tahun [ 688-695 M ] Dan Menghasilkan Dua Karya Besar Yaitu Ta T'Ang Si-Yu-Ku-Fa-Kao-Seng-Chuan Dan Nan-Hai-Chi-Kuei-Nei-Fa-Chuan [ A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago ] Yang Selesai Ditulis Pada Tahun 692 M. Ini Menunjukkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Merupakan Salah Satu Pusat Agama Budha Yang Penting Pada Saat Itu.

Selain Itu, Hal Penting Lain Yang Juga Termuat Dalam Catatan I-Tsing, Adalah Ketertarikan Utamanya Adalah Pada " Rumah Agama Buddha " India Utara Dimana I-Tsing Tinggal Dan Belajar Disana Selama Lebih Dari Sepuluh Tahun. Dari Catatannya Dapat Dikatakan Bahwa Agama Buddha Di India Dan Sumatra Mempunyai Banyak Kesamaan, Dimana I-Tsing Juga Menemukan Perbedaan Antara Agama Buddha Di China Dan Di India. I-Tsing Menghabiskan Waktunya Hidup Sendirian Sebagai Biksu Di India Dan Sumatra.

Dalam Catatannya Disebutkan Bahwa, Saat Itu Terdapat Lebih Dari Seribu Orang Pendeta Budha Di Kerajaan Sriwijaya. Aturan Dan Upacara Para Pendeta Budha Tersebut Sama Dengan Aturan Dan Upacara Yang Dilakukan Oleh Para Pendeta Budha Di India. I-Tsing Tinggal Selama 6 Bulan Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Belajar Bahasa Sansekerta, Setelah Itu, Baru Ia Berangkat Ke Nalanda, India. Setelah Lama Belajar Di Nalanda, I-Tsing Kembali Ke Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 685 Dan Tinggal Selama Beberapa Tahun Untuk Menerjemahkan Teks-Teks Budha Dari Bahasa Sansekerta Ke Bahasa Cina. Seluruh Bukunya Merupakan Catatan Lengkap Tentang Kehidupan Biarawan. Ia Tinggal Di India Seluruhnya Berdasarkan Peraturan Vinnaya.

Catatan Lainnya Tentang Kerajaan Sriwijaya Adalah Karangan George Coedes. Dalam Catatan George Coedes Tersebut, Ia Menulis Karangannya Mengenai Kerajaan Sriwijaya Yang " Berjudul Le Royaume De Crivijaya " Pada Tahun 1918 M.

Catatan Lain Tentang Kerajaan Sriwijaya Adalah Catatan Kern. Lima Tahun Sebelum George Coedes Menyelesaikan Karangannya, Yaitu Pada Tahun 1913 M, Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka. Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja.

Disamping Catatan Ada Juga Karya Terjemahan Tentang Kerajaan Sriwijaya. Pada Tahun 1896 M, Sarjana Jepang Takakusu Menerjemahkan Karya I-Tsing, Nan-Hai-Chi-Kuei-Nai Fa-Chan Ke Dalam Bahasa Inggris Dengan Judul [ A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago ]. Namun, Dalam Buku Tersebut Tidak Terdapat Nama Kerajaan Sriwijaya, Yang Ada Hanya Shih-Li-Fo-Shih.

Dari Terjemahan Prasasti Kota Kapur Yang Memuat Nama Kerajaan Sriwijaya Dan Karya I-Tsing Yang Memuat Nama Shih-Li-Fo-Shih, Coedes Kemudian Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.

Sumber Catatan Lain Tentang Kerajaan Sriwijaya, Yaitu Catatan Seorang Sejarawan Arab, Kerajaan Sriwijaya Disebut Sribuza. Masudi, Seorang Sejarawan Arab Klasik Menulis Catatan Tentang Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 955 M. Dalam Catatan Itu, Digambarkan Kerajaan Sriwijaya Merupakan Sebuah Kerajaan Besar, Dengan Tentara Yang Sangat Banyak. Hasil Bumi Kerajaan Sriwijaya Adalah Kapur Barus, Kayu Gaharu, Cengkeh, Kayu Cendana, Pala, Kardamunggu, Gambir Dan Beberapa Hasil Bumi Lainya.

Dari Catatan Asing Tersebut, Bisa Diketahui Bahwa Kerajaan Sriwijaya Merupakan Kerajaan Besar Pada Masanya, Dengan Wilayah Dan Relasi Dagang Yang Luas Sampai Ke Madagaskar. Sejumlah Bukti Lain Berupa Arca, Stupika, Maupun Prasasti Lainnya Semakin Menegaskan Bahwa, Pada Masanya Kerajaan Sriwijaya Adalah Kerajaan Yang Mempunyai Komunikasi Yang Baik Dengan Para Saudagar Dan Pendeta Di Cina, India Dan Arab. Hal Ini Hanya Mungkin Bisa Dilakukan Oleh Sebuah Kerajaan Yang Besar, Berpengaruh, Dan Diperhitungkan Di Kawasannya.

Explorer  SRIWIJAYA

Salah Satu Cara Untuk Memperluas Pengaruh Kerajaan Sriwijaya Adalah Dengan Melakukan Perkawinan Dengan Kerajaan Lain. Hal Ini Juga Dilakukan Oleh Penguasa Kerajaan Sriwijaya. Dapunta Hyang Yang Berkuasa Sejak 664 M, Melakukan Pernikahan Dengan Sobakancana, Putri Kedua Raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan Ini Melahirkan Seorang Putra Yang Menjadi Raja Kerajaan Sriwijaya Berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu Kemudian Memiliki Putri Yang Bernama Dewi Tara. Putri Ini Kemudian Ia Nikahkan Dengan Samaratungga, Raja Kerajaan Mataram Kuno Dari Dinasti Syailendra. Dari Pernikahan Dewi Setu Dengan Samaratungga, Kemudian Lahir Bala Putra Dewa Yang Menjadi Raja Di Kerajaan Sriwijaya Dari 833 Hingga 856 M.

Silsilah Raja Kerajaan SRIWIJAYA

Dapunta Hyang Sri Yayanaga [ Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684 ].
1. Cri Indrawarman [ Berita Cina, Tahun 724 ].
2. Rudrawikrama [ Berita Cina, Tahun 728, 742 ].
3. Wishnu [ Prasasti Ligor, 775 ].
4. Maharaja [ Berita Arab, Tahun 851 ].
5. Balaputradewa [ Prasasti Nalanda, 860 ].
6. Cri Udayadityawarman [ Berita Cina, Tahun 960 ].
7. Cri Udayaditya [ Berita Cina, Tahun 962 ].
8. Cri Cudamaniwarmadewa [ Berita Cina, Tahun 1003, Prasasti Leiden, 1044.
9. Maraviyayatunggawarman [ Prasasti Leiden, 1044 ].
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman [ Prasasti Chola, 1044 ].

Masa Kejayaan SRIWIJAYA

Kerajaan Sriwijaya Berkuasa Dari Abad Ke-7 Hingga Awal Abad Ke-13 M, Dan Kerajaan Sriwijaya Mencapai Zaman Keemasan Di Jaman Pemerintahan Balaputra Dewa [ 833-856 M ]. Kemunduran Kerajaan Sriwijaya Ini Berkaitan Dengan Masuk Dan Berkembangnya Agama Islam Di Sumatera, Dan Munculnya Kekuatan Singosari Dan Majapahit Sebagai Kekuatan Tandingan Di Pulau Jawa. Dalam Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Sriwijaya Menguasai Bagian Barat Nusantara. Salah Satu Faktor Yang Menyebabkan Kerajaan Sriwijaya Bisa Menguasai Seluruh Bagian Barat Nusantara Adalah Runtuhnya Kerajaan Fu-Nan Di Indocina. Sebelumnya, Fu-Nan Adalah Satu-Satunya Pemegang Kendali Di Wilayah Perairan Selat Malaka. Faktor Lainnya Adalah Kekuatan Armada Laut Kerajaan Sriwijaya Yang Mampu Menguasai Jalur Lalu Lintas Perdagangan Antara India Dan Cina. Dengan Kekuatan Armada Yang Besar, Kerajaan Sriwijaya Kemudian Melakukan Ekspansi Wilayah Hingga Ke Pulau Jawa. Dalam Sumber Lain Dikatakan Bahwa, Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Sampai Ke Brunei Dan Di Pulau Borneo.

Runtuhnya Kerajaan SRIWIJAYA

Pada Abad Ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya Mulai Mengalami Kemunduran. Pada Tahun 1006 M, Kerajaan Sriwijaya Diserang Oleh Dharmawangsa Dari Jawa Timur. Serangan Ini Berhasil Dipukul Mundur, Bahkan Kerajaan Sriwijaya Mampu Melakukan Serangan Balasan Dan Berhasil Menghancurkan Kerajaan Dharmawangsa. Pada Tahun 1025 M, Kerajaan Sriwijaya Mendapat Serangan Yang Melumpuhkan Dari Kerajaan Cola, India. Walaupun Demikian, Serangan Tersebut Belum Mampu Melenyapkan Kerajaan Sriwijaya Dari Muka Bumi. Hingga Awal Abad Ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya Masih Tetap Berdiri, Walaupun Kekuatan Dan Pengaruhnya Sudah Sangat Jauh Berkurang.

Dari Prasasti Kota Kapur Yang Ditemukan JK Van Der Meulen Di Pulau Bangka Pada Bulan Desember 1892 M, Diperoleh Petunjuk Mengenai Kerajaan Sriwijaya Yang Sedang Berusaha Menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun Tidak Dijelaskan Wilayah Mana Yang Dimaksud Dengan Bhumi Jawa Dalam Prasasti Itu, Beberapa Arkeolog Meyakini, Yang Dimaksud Bhumi Jawa Itu Adalah Kerajaan Tarumanegara Di Pantai Utara Jawa Barat. Selain Dari Isi Prasasti, Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Juga Bisa Diketahui Dari Persebaran Lokasi Prasasti-Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Tersebut. Di Daerah Lampung Ditemukan Prasasti Palas Pasemah, Di Jambi Ada Karang Berahi, Di Bangka Ada Kota Kapur, Di Riau Ada Muara Takus. Semua Ini Menunjukkan Bahwa, Daerah-Daerah Tersebut Pernah Dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Sumber Lain Ada Yang Mengatakan Bahwa, Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Sebenarnya Mencapai Philipina. Ini Merupakan Bukti Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Pernah Menguasai Sebagian Besar Wilayah Nusantara.

Kekuasaan Tertinggi Di Kerajaan Sriwijaya Dipegang Oleh Raja. Untuk Menjadi Raja, Ada Tiga Persyaratan Yaitu :

1. Samraj, Artinya Berdaulat Atas Rakyatnya.
2. Indratvam, Artinya Memerintah Seperti Dewa Indra Yang Selalu Memberikan Kesejahteraan Pada Rakyatnya.
3. Ekachattra. Eka Berarti Satu Dan Chattra Berarti Payung. Kata Ini Bermakna Mampu Memayungi [ Melindungi ] Seluruh Rakyatnya. Penyamaan Raja Dengan Dewa Indra Menunjukkan Raja Di Kerajaan Sriwijaya Memiliki Kekuasaan Yang Bersifat Transenden. Belum Diketahui Secara Jelas Bagaimana Struktur Pemerintahan Di Bawah Raja. Salah Satu Pembantunya Yang Disebut Secara Jelas Hanya Senapati Yang Bertugas Sebagai Panglima Perang.

Di Bidang Perdagangan, Kerajaan Sriwijaya Mempunyai Hubungan Perdagangan Yang Sangat Baik Dengan Saudagar Dari Cina, India, Arab Dan Madagaskar. Hal Itu Bisa Dipastikan Dari Temuan Mata Uang Cina, Mulai Dari Periode Dinasti Song [ 960-1279 M ] Sampai Dinasti Ming [ Abad 14-17 M ]. Berkaitan Dengan Komoditas Yang Diperdagangkan, Berita Arab Dari Ibn Al-Fakih [ 902 M ], Abu Zayd [ 916 M ] Dan Mas'Udi [ 955 M ] Menyebutkan Beberapa Di Antaranya, Yaitu Cengkeh, Pala, Kapulaga, Lada, Pinang, Kayu Gaharu, Kayu Cendana, Kapur Barus, Gading, Timah, Emas, Perak, Kayu Hitam, Kayu Sapan, Rempah-Rempah, Dan Penyu. Barang-Barang Ini Dibeli Oleh Pedagang Asing, Atau Dibarter Dengan Porselen, Kain Katun Dan Kain Sutra.

Sejarah Kerajaan Sriwijaya Berdasarkan Tahun

Tahun 671 M - I Ching singgah di Sriwijaya
tahun 671 adalah tahun awal yang membutikan adanya Kerajaan Sriwijaya. bukti ini di dapat dari seorang Bhiksu Buddha Tiongkok yang bernama I Ching yang sedang berkelana lewat laut menuju india untuk mendapatkan teks agama buddha dalam bahasa sangsekerta melalui Jalur Sutra atau jalur perdagangan untuk kemudian di bawa ke tiongkok dan di terjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa. semasa perjalanan nya ini lah I Ching singgah di Sriwijaya pada Tahun 671 dan menetap selama 6 bulan di sriwijaya kemudian melanjutkan perjalanan nya ke Malayu yang sekarang disebut dengan jambi menetap pula di jambi selama 2 bulan

Gambaran I Tsing tentang Sriwijaya
"Banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".

Tahun 683 M - Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti kedukan bukit yang ditemukan oleh M. Batunburg pada tanggal 29 November 1920 di kebun Pak H. Jahri tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang sebelah barat daya Palembang. Prasasti yang berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm ini ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno adalah sebuah Prasasti yang memperjelas adanya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini Sangat Jelas Menggambarkan Kejadian yang terjadi pada saat itu.

Isi prasasti kedukan bukit yang telah di terjemahkan:
tanggal 23 April 683 dapunta hiyang naik ke perahu untuk melakukan penyerangan dan sukses dalam Penyerangannya. 19 Mei 683 Dapunta Hiyang berlepas dari minanga membawa 20.000 bala tentara dengan perbekalan 200 peti di perahunya. Rombongan pun tiba di Mukha Upang dengan suka cita. 17 Juni 683 Dapunta Hyang datang membuat wanua

Tahun 684 M - Prasasti Talang Tuo
Prasasti ini ditemukanpada tanggal 17 November 1920 di kaki bukit siguntang oleh Louis Constant Westenenk. Prasasti yang memiliki bidang datar berukuran 50cmX80cm ini juga dipahat menggunakan Aksara Palawa dalam bahasa melayu kuno. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk berisi pohon pohon yang buahnya dapat dimakan, Taman tersebut diberi nama Sriksetra.

Tahun 686 M - Prasasti kota kapur
Prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak ditemukan di pesisir Barat Pulau Bangka, dinamakan Prasasti Kota Kapur karna sesuai dengan Tempat di temukan nya yaitu di dusun kecil di Pesisir barat Pulau Bangka yang bernama kota Kapur. Prasasti yang ditemukan oleh J.K Van Der Meulen pada bulan Desember 1892 dan di terjemahkan oleh George Coedes orang yang sama yang telah menerjemahkan Prasasti Kedukan Bukit ini berisi tentang Kutukan bagi siapapun yang memberontak kepada Sriwijaya serta berisi Hal hal baik untuk yang setia kepada Sriwijaya, dalam Prasasti Kota Kapur ini juga jelas di ucapkan tanggal 28 Februari 686 Bala tentara Sriwijaya berangkat untuk Menyerang Bumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya

Tahun 718 M - Sri Indrawarman Raja Sriwijaya masuk islam
Hal ini di dasari oleh Surat yang dikirimkan Sri Indrawarman yang saat itu berstatus sebagai Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah. dalam surat itu disebutkan dari seorang Maharaja, yang memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus, dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan pertanian mereka. Bersamaan dengan surat itu juga dikirimkan Hadiah untuk Khalifah

Tahun 717-720 M - Surat kedua Ke Suriah meminta Da'i ke Sriwijaya
Surat kedua yang dikirimkan Raja Sriwijaya ini di dokumentasikan oleh Adb Rabbih dalam karya Al-Iqdul farid. isi potongan surat tersebut berbunyi :
Dari Raja di raja... yang adalah keturunan seribu raja.. kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.

Tahun 724 M - Sri Indrawarman mengirim hadiah ke Cina
Sama hal nya dengan yang di lakukan Raja Sri Indrawarman kepada Raja Arab pada kisaran Tahun 717-720 M. Raja Sri Indrawarman juga mengirimkan hadiah kepada kaisar Cina berupa ts'engchi

Tahun 775 -787 M - Dharanindra Mengusasi Sriwijaya
Hal ini di dasari oleh sebuah Prasasti yang ditemukan di sebuah tempat yang bernama Ligor saat ini tempat tersebut bernama Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand. Prasasti  Ligor memiliki 2 Sisi. Sisi Pertama disebut sebagai Ligor A dan Sisi sebaliknya disebut Ligor B. Ligor A ditulis pada tahun 775 oleh raja Kerajaan Sriwijaya, sedangkan Ligor B ditulis oleh Wangsa Sailendra setelah Menaklukkan Sriwijaya

Tahun 792 - 835 M - Samaratungga Memerintah Sriwijaya
di kisaran Tahun ini lah di perkirakan Samaratungga menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dengan mengedepankan Agama dan Budaya, terbukti di bangunnya candi Borubudur pada tahun 825 M oleh Samaratungga. Pernikahan Samaratungga dengan Dewi Tara Lahirlah Balaputradewa sebagai Pewaris Tahta Kerajaan Sriwijaya

Tahun 860 M - Balaputradewa Naik Tahta
Prasasti Nalanda berangka tahun 860 ditemukan di Nalanda, Bihar, India. adalah bukti bahwa Balaputradewa pernah menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya, Penafsiran Manuskrip Prasasti Nalaya berbunyi : " Sri Maharaja di Suwarnadwipa, Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari sailendravamsatilaka (mustika keluarga sailendra) dengan julukan sriviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), raja Jawa yang kawin dengan Dewi Tara, anak Dharmasetu"

Tahun 990 M - Serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa
Serangan raja Dharmawangsa ini di dasari oleh berita cina dari dinasti song, di kisahkan dalam berita cina bahwa Sriwijaya terlibat persaingan dengan Kerajaan Medang untuk menguasai Asia tenggara, kedua Kerajaan ini saling mengirimkan duta ke cina, utusan Sriwijaya berangkat pada tahun 988 tertahan di kanton ketika hendak pulang, karna negri Sriwijaya di serang tentara Kerajaan Medang, Pada Tahun 992 duta Sriwijaya mencoba pulang kembali namun tertahan di Campa karna negri Sriwijaya belum aman, duta ini meminta Kaisar Song untuk menyatakan bahwa Sriwijaya berada dalam perlingdungan cina, untusan Kerajaan Medang tiba di cina tahun 992 M, dikirim setelah Dharmawangsa berhasil menaklukkan Sriwijaya.

Tahun 1006 / 1016 - Wafatnya Dharmawangsa Teguh
dalam Prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya Kerajaan Medang. Tentara Aji Wurawari dari Lwaram yang di perkirakan sekutu Sriwijaya menyerang Istana raja Dharmawangsa Teguh di  Wwatan. Dharmawangsa Teguh meninggal pada peristiwa tersebut.

Tahun  1003 M - Sri Cudamaniwarmadewa
keterangan ini di dapat dari sebuah manuskrip nepal pada abad ke 11 yang memuji negara Sriwijaya sebagai pusat kegiatan utama agama budha, dan memiliki area indah lokananantha di sriwayapura. Dan sebuah kronik Tibet yang ditulis pada abad ke 11 bernama durbodhaloka menyebutkan pula nama maharaja sri Cudamanirwarman dari sriwijayanagara di suwardawipa.

Tahun 1008 M - Sri Mara-Vijayottunggawarman
Penemuan Prasasti Leiden yang tertulis pada lempengan tembaga berangka tahun 1005 yang terdiri dari bahasa Sansekerta dan berbahasa Tamil. sesuai dengan tempat  di temukan nya yaitu di KITLV Leiden, Belanda. maka Prasasti ini dinamakan Prasasti Leiden.

Nama Sri Mara-Vihayottunggawarman di sebutkan dalam Prasasti Leiden sebagai anak dari Sri Cudamaniwarmadewa yang memiliki hubungan baik dengan dinasti Chola dari Tamil, selatan India
Terjemahan Prasasti Leiden : 
Raja Sriwijaya, Sri Mara-Vijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma

Tahun 1025 M - Kehancuran Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya Hancur Diserang oleh Rajendra Chola dari Kerajaan Chola serangan Rajendra Chola I dari Koromandel India selatan, didasarkan pada bait akhir prasasti Tanjoreyang menceritakan tentang penaklukan yang dilakukan Kerajaan Chola atas beberapa kawasan termasuk beberapa kawasan di nusantara serta penawanan raja Sangrama-Vijayottunggawarman dari Sriwijaya.

Referensi :

1. Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, deel 100, 1941.
2. William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press, Kuala Lumpur, cetak ulang 1975

Credit Image: Google Image

2 komentar:

Arsip Blog

Visitor

Popular Posts

Donate To Me On Paypal

https://www.paypal.me/riyanto1971