Kamis, 08 September 2016

Hingga saat ini masih saja banyak seorang bos, majikan, pimpinan perusahaan, pemilik tempat usaha dan lain lain, yang masih saja lalai, sengaja, pura pura tidak tau, atau merasa berkuasa atas karyawannya, suka menggantung gaji atau upah karyawannya, ada yang telat karena memang berbenturan dengan hari libur atau, ada juga yang nunggu ditanyakan atau terkadang memang merasa dialah yang berkuasa. Tapi tahu tidak setiap perbuatan ada balasannya, seperti menunda nunda upah seseorang adalah termasuk perbuatan yang merugikan seseorang karyawan, pekerja, kuli atau juga pekerja lepas. Coba baca artikel ini semoga hati anda teringat akan beratnya ancaman menunda gaji seseorang menurut Islam.

Ilustrasi: tangisan istri seorang pekerja yang gajinya dipermainkan majikan, bos besar alias orang zalim.

Bukhari dan yang lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

 ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
 رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ , وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

“Tiga Jenis (manusia) yang Aku akan menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu: seseorang yang memberi dengan nama-Ku, kemudian berkhianat; seseorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak), kemudian memakan uangnya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja dan telah diselesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.”
Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma dan Thabrani meriwayatkan dari Jabi radhiallahu ‘anhu serta Abu Ya’la juga meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.”

Para ulama telah menganggap bahwa menunda pembayaran gaji pekerja atau tidak memberikannya setelah pekerjaan diselesaikan, termasuk dosa besar berdasarkan ancaman yang sangat dahsyat ini. Karena, penundaan pembayaran dari orang yang kaya merupakan bentuk kezaliman, sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan ghashab. Di antara bentuk kezalimannya adalah tidak memberikan sama sekali hak-hak pekerja, sedang para pekerja tidak memiliki bukti.

Bahkan, terkadang membebaninya dengan pekerjaan atau menambah waktu kerja (lembur), tapi hanya memberikan gaji pokok saja tanpa membayar pekerjaan tambahan atau waktu lembur dengan memanfaatkan momentum minimnya lowongan pekerjaan dan kelemahan pihak pekerja. Terkadang pula, terjadi penundaan pembayaran gaji dan tidak memberikannya kecuali dengan usaha keras para pekerja dengan tujuan agar para pekerja melepaskan haknya dan tidak menuntuk haknya kembali. Atau, ada yang bermaksud menggunakan upah pekerja tersebut untuk usahanya dan mengelolanya, sedangkan si pekerja yang miskin tersebut tidak memiliki bahan makanan untuk diri dan keluarganya.

Termasuk kategori dosa besar adalah melarang orang-orang memanfaatkan sesuatu yang boleh digunakan oleh mereka baik secara umum ataupun khusus, seperti: tanah tak bertuan yang siapapun boleh memilikinya, jalan, masjid, tanah wakaf untuk orang miskin, dan barang tambang yang tidak tampak maupun yang tampak. Maka, bila ada seseorang yang melarang orang lain untuk memanfaatkannya, maka hal itu merupakan bentuk dosa besar, karena serupa dengan tindakan ghashab. Orang seperti ini, layaknya seseorang yang melarang orang lain untuk memilikinya. Sebab, orang yang berhak memanfaatkan sesuatu, maka ia juga berhak untuk memilikinya. Sebagaimana menahan hak milik seseorang termasuk dosa besar, maka perbuatan seperti ini pun hukumnya sama. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan Al-Haitsami dalam kitabnya Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kaba’ir (I/263).

Dalam sebuah hadits disebutkan:

مِنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Dawud, Nasai dan Tirmidzi, hadits hasan)
Nasai juga meriwayatkan sebuah hadits yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban yang berbunyi,

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَة فَلَهُ فِيْهَا أَجْرٌ, وَمَأَكَلَتِ الْعَوَافِي مِنْهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka akan mendapatkan pahala. Dan, apa yang dimakan oleh burung dan binatang buas, maka itu merupakan sedekah baginya.”
Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Hasan bin Samurah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sa llam, beliau bersabda,

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ

“Barangsiapa yang memberi tanda di bumi (yang tidak ada pemiliknya), maka bumi itu menjadi miliknya.”

Para ulama telah sepakat bahwasanya orang yang menghidupkan tanah (yang tidak ada pemiliknya) merupakan sebab kepemilikan. Kebanyakan dari mereka tidak mensyaratkan adanya izin dari hakim. Hanya saja, sebaiknya tanah tersebut jauh dari keramaian, sehingga tidak ada yang memilikinya. Ada yang berpendapat, bahwa barangsiapa yang memberikan tanda atau memberi garis pembatas (pada tanah yang tak ada pemiliknya), kemudian ia tidak merawatnya dengan diolah, maka sesudah tiga tahun gugurlah kepemilikannya.

Jika ada seseorang yang merawat suatu tempat dengan prasangka tempat tersebut tidak ada pemiliknya, kemudian datang seseorang yang mengakui bahwa tempat tersebut adalah miliknya, maka ada dua pilihan; orang yang meramaikan tempat tersebut mengembalikan kepada pemiliknya, setelah ia mengambil bayaran dari pemilik atas apa yang ia lakukan; atau kepemilikan tanah tersebut menjadi miliknya setelah ia membayar harganya.

Inilah yang terjadi pada masa Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdil Aziz. Diperbolehkan bagi hakim yang adil untuk memberikan kepemilikan seseorang baik dari kepemilikan tanah, pertambangan dan sumur selama di dalamnya terdapat kebaikan. Namun, hal ini tidak diperbolehkan jika alasannya karena faktor ia senang kepada orang tersebut. Dalam sejumlah atsar disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sa llam dan para Khulafaur Rasyidin serta orang-orang sesudahnya memberikan tanah kepada sekelompok orang. Akan tetapi, jika hal tersebut tidak ada manfaatnya dengan tidak dirawatnya tanah tersebut, maka pemberiannya tersebut dapat dicabut kembali.

Sumber: Halal Haram dalam Bisnis Kontemporer, Dr. Sa’id Abdul Azhim, Al-Qowam
Postingan asli : http://pengusahamuslim.com, di tulis ulang admin blog ini. ( RR ).

Related Posts:

  • Tanda Hitam Di Dahi-Jidat-Kening Bekas Sujud Waktu Sholat..??Mungkin Kita sesama muslims sering melihat ada orang yang kening dahi atau jidatnya lebam seperti kebanyakan sholat..!! tapi apa bener sering sholat sholat harus gitu..?? atau emang disengaja dibenturin biar ada bekasnya di d… Read More
  • Beda Mani Madzi Kencing dan Wadhi Dalam IslamMungkin diantara kita umat muslim masih ada yang belum tahu beda dari beda Mani Madzi Kencing dan Wadhi, dan selama ini mungkin masih ragu jika celana dalam laki laki basah. untuk mengetahui hal ini adalah hal yang sangat pen… Read More
  • Allah SWT Turun Ke Langit Dunia Pada Malam Nisfu Sya'ban..??Bulan Sya’ban adalah istilah bahasa Arab yang berasal dari kata syi’ab yang artinya jalan di atas gunung. Islam kemudian memanfaatkan bulan Sya’ban sebagai waktu untuk menemukan banyak jalan, demi mencapai kebaikan. Karena… Read More
  • Harum Dan Haram Rum ( RHUM ) Pada Beberapa Kue di PasaranBentar Lagi Insya Allah kita memasuki bulan ramadhan ( bulan puasa ) dan setelah ramadhan ( bulan puasa ) kita merayakan Hari Raya Idul Fitri, tahu sendiri tradisi lebaran dinegeri ini, tiap rumah komplet dengan sajian kue le… Read More
  • Nenek Moyang DAJJALMunculnya DAJJAL adalah isyarat ghaib tibanya hari kiamat, dan Berita kemunculan DAJJAL telah di isyaratkan Oleh Nabi muhammad SAW 1400 tahun yang silam. Dari al-Nuwas Sam'an Al-Kalaby ia berkata : pada suatu pagi Rasulullah … Read More

0 comments:

Posting Komentar

Arsip Blog

Visitor

25496884
Popular Posts

Donate To Me On Paypal

https://www.paypal.me/riyanto1971