Palembang merupakan kota yang strategis di Sumatera Selatan.
Sebagai kota tua, Palembang banyak menyimpan sejarah perjuangan rakyat.
Keberadaan Palembang yang dibagi oleh Sungai Musi menambah eksotismenya.
Ciri khas Kota Palembang sebagai kota yang sangat didominasi oleh air,
bahkan oleh Belanda sebelum Perang Dunia II, pernah dipromosikan sebagai
“Venetie van het Verre Oasten” atau
“Venesia dari Timur Jauh.” Kekayaan alam Sumatera Selatan menjadi kebanggaan sekaligus ancaman dari bangsa asing.
Setelah Perang Dunia II, Sekutu membonceng NICA ke Indonesia dengan
maksud agar Belanda dapat kembali menguasai Indonesia. Konflik RI dan
Belanda semakin menimbulkan ketegangan. Para pasukan RI, laskar dan
rakyat berusaha mempertahankan Kemerdekaan yang telah dicapai pada 17
Agustus 1945. Usaha untuk mencapai kepentingan Belanda berlanjut dengan
pertempuran besar. Pertempuran besar yang menentukan antara lain Bandung
Lautan Api, Pertempuran Ambarawa, Medan Area, Puputan Margarana dan
lain-lain. Di Sumatera Selatan pun terjadi pertempuran besar yang
dikenal dengan
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang. Pertempuran ini terjadi pada tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang tiga
matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang
tersebut terjadi melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara. Belanda
sangat berkepentingan untuk menguasai Palembang secara total karena
tinjauan Belanda terhadap Palembang dari aspek politik. ekonomi dan
militer. Dalam aspek politik, Belanda berusaha untuk menguasai Palembang
karena ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka
benar-benar telah menguasai Jawa dan Sumatera.
Ditinjau dari aspek
ekonomi berarti jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti
juga dapat menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju dan Sei Gerong.
Selain itu, dapat pula perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk
tujuan ekspor. Sedangkan jika ditinjau dari segi militer, sebenarnya
Paskan TRI dan pejuang yang dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan
pasukan yang relatif mempunyai persenjataan yang terkuat, jika
dibandingkan dengan pasukan-pasukan di luar kota. Oleh karena itu, jika
Belanda berhasil menguasai Kota Palembang secara total, maka akan
mempermudah gerakan operasi militer mereka ke daerah-daerah pedalaman.
Peranan rakyat sangat besar dalam Pertempuran Lima Hari Lima Malam.
Motivasinya perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan khususnya para
pejuang di daerah Sumatera Selatan yakni adanya “sense to be a nation,”
rasa harga diri sebagai suatu bangsa yang telah merdeka. Semboyan
“Merdeka atau Mati” yang berkumandang semasa periode Perang Kemerdekaan
adalah wujud usaha untuk menjaga agar tetap berdirinya Negara Republik
Indonesia.
Daerah Keresidenan Palembang pada masa-masa menjelang Pertempuran
Lima Hari Lima Malam memiliki keunikan tersendiri, bila dibandingkan
dengan daerah-daerah Indonesia lainnya yang telah diduduki oleh Sekutu
(NICA), seperti Medan, Padang, Jakarta, Bandung, dan lain-lainnya, yang
masih terdapat pemerintahan RI lengkap dengan pasukan, karena
keberhasilan diplomasi yang dilakukan oleh kepala pemerintah setempat.
Setelah Belanda menggantikan Inggris di Palembang pada 24 Oktober 1946,
Kolonel Mollinger menjadi Komandan territorial Belanda untuk Sumatera
Selatan (Palembang, Lampung, Bangka, dan jambi). Penyerahan pendudukan
Inggris kepada Belanda berlangsung pada 7 November 1946. Setelah
menggantikan Inggris, Belanda menuntut garis demarkasi yang lebih jauh.
Untuk mencegah timbulnya insiden dilakukanlah perundingan antara pihak
Belanda dan RI pada November 1946.
Hal terpenting dari perundingan itu antara lain tentara Belanda tidak
akan memperluas atau melewati batas daerah yang diserahkan kepadanya
oleh Inggris dan akan memelihara status quo. Sementara itu di Palembang
mulai dilakukan pengembangan kekuatan militer oleh Pasukan TRI,
sedangkan pihak Belanda giat menyusun posisi dan memperkuat pasukannya
di Palembang.
Pada bulan Desember 1946, pihak Belanda telah menyusun
pasukan-pasukannya di Kota Palembang dan sekitarnya. Kapal-kapal perang
Belanda mulai melakukan pencegahan terhadap lalu lintas pelayaran antara
Palembang – Lampung – Jambi – Singapura, yang bertujuan untuk
mengadakan blokade ekonomi dan militer. Blokade bertujuan agar hubungan
timbal balik antara Jambi, Lampung, Palembang dan Singapura terputus
sehingga hasil bumi, barang kebutuhan hidup dan senjata tidak dapat
diimpor dan diseludupkan dari Singapura. Dr. A.K. Gani melakukan
kegiatan menembus blokade tersebut untuk memperkuat perjuangan sehingga
dia dijuluki “The biggest smuggler of South East.”
Panglima Komando Sumatera, Jendral Mayor Suharjo Harjowardoyo
mengeluarkan Perintah Harian lewat corong Radio Republik Indonesia di
Palembang pada akhir Desember 1946 yang ditujukan kepada pasukan-pasukan
RI di daerah pendudukan Belanda di Medan, Padang dan terutama yang di
Palembang untuk selalu siap siaga dan waspada menunggu instruksi dari
pemerintah pusat.
Pada tanggal 28 Desember 1946, seorang anggota Lasykar Napindo
bernama Nungcik ditembak mati karena melewati pos pasukan Belanda di
Benteng. Malam harinya Belanda melanggar garis demargasi yang telah
ditentukan. Dua buah jeep yang dikendarai oleh pasukan Belanda dari
Talang Semut melewati Jalan Merdeka, Jalan Tengkuruk (sekarang jalan
Sudirman). Rumah Sakit Charitas sambil melepaskan tembakan-tembakan yang
membabibuta. Pancingan itu mendapatkan jawaban dari pasukan RI.
Meletuslah pertempuran yang berlangsung sekitar 13 jam lamanya. situasi
Palembang dalam kondisi cease fir. Insiden ini menunjukkan akan
meletusnya perang yang lebih besar, karena Belanda berusaha meningkatkan
pertahanannya.
Penghentian tembakan-tembakan tersebut tidaklah berlangsung lama,
Belanda kembali melanggar kesepakatan pada 29 Desember 1946, berupa
terjadi penembakan terhadap Letnan Satu A. Riva’i, Komandan Divisi Dua,
yang mengendarai sepeda motor Harley Davidson saat sedang melakukan
inspeksi kepada pasukan-pasukan dan pos-pos pertahanan
TRI-Subkoss/Lasykar. Ketika melintas di depan Charitas, ia ditembak
dengan senjata otomatis oleh pasukan Belanda yang berada di Charitas.
Letnan Satu A. Riva’i berhasil menyelamatkan diri walaupun tembakan itu
tepat mengenai perutnya.
Provokasi Belanda terus terjadi pada tanggal 31 Desember 1946
menyebabkan insiden dengan pihak TRI yang sifatnya sporadis. Belanda
melakukan konvoi dari Talang Semut menuju arah Jalan Jendral Sudirman.
Mobil tersebut melaju dengan kencang dan melepaskan tembakan-tembakan.
Kontak senjata tidak terelakkan di depan Masjid Agung dan sekitar rumah
penjara Jalan Merdeka. Pasukan TRI melakukan pengepungan dan serangan
terhadap kekuatan Belanda di Charitas sehingga tidak mungkin Belanda
untuk keluar dan menerima bantuan dari luar.
Akhirnya
Belanda meminta
bantuan Panglima Divisi II (Kol Hasan Kasim) dan Gubernur Sumatera
Selatan (dr. M. Isa) untuk menghentikan tembak-menembak (cease fire)
Tujuan dilakukan penghentian tembak-menembak bagi Belanda adalah
untuk menyusun kembali kekuatan tempurnya. Sebelum Belanda melakukan
serangan udara itu memakan waktu yang relatif singkat, yaitu beberapa
jam sebelum matahari terbenam menjelang malam.
Belanda melakukan
penembakan dengan mortir ketempat dimana Pasukan TRI/Lasykar berada
yaitu di Gedung Perjuangan (sekarang pusat perbelanjaan Bandung), di
daerah dekat Sungai Jeruju, daerah Tangga Buntung, dan sebagainya.
Dengan demikian telah berakhir kesepakatan penghentian tembak-menembak
oleh Belanda. Insiden-insiden yang terjadi pada akhir tahun 1946
tersebut menjadikan situasi di Kota Palembang dan sekitarnya menjadi
panas (Perwiranegar, 1987: 58). Insiden yang terjadi sesungguhnya adalah
cara Belanda untuk memicu keributan dengan tujuan agar terjadi
pertempuran yang lebih besar.
Pada hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947, sekitar pukul 05.30 pagi,
sebuah kendaraan Jeep yang berisi pasukan Belanda keluar dari Benteng
dengan kecepatan tinggi. Mereka melampaui daerah garis demarkasi yang
sudah disepakati. Ternyata mereka mabuk setelah pesta semalam suntuk
merayakan datangnya tahun baru. Kendaraan Jeep itu melintasi Jalan
Tengkuruk membelok dari Jalan Kepandean (sekarang Jalan TP. Rustam
Effendi) lalu menuju Sayangan, kemudian melintasi ke arah Jalan Segaran
di 15 Ilir, yang banyak terdapat markas Pasukan RI/Lasykar seperti
Markas Napindo, Markas TRI di Sekolah Methodist, rumah kediaman A.K.
Gani, Markas Divisi 17 Agustus, Markas Resimen 15, dan Markas Polisi
Tentara.
Pada kesempatan yang sama para pemimpin militer dan Lasykar
mengadakan rapat komando untuk menentukan sikap dalam menghadapi
provokasi Belanda. Rapat dihadiri pimpinan pemerintah sipil Gubernur
Muda M. Isa. Dalam rapat tersebut, Panglima Divisi II Kolonel Bambang
Utoyo, Gubernur Muda M. Isa, maupun Panglima Lasykar 17 Agustus, Kolonel
Husin Achmad menyatakan bahwa dalam menghadapi provokasi Belanda, pihak
RI bertindak tidak lagi sekedar membalas serangan, melainkan harus
berinisiatif untuk menggempur semua kedudukan dan posisi pertahanan
Belanda di seluruh sektor. Kepala staf Devisi II, Kapten Alamsyah,
mengeluarkan perintah “Siap dan Maju” untuk bertempur menghadapi
Belanda.
1. Front Seberang Ilir Timur
Front
Seberang Ilir Timur meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk sampai RS
Charitas – Lorong Pagar Alam – Jalan Talang Betutu – 16 Ilir – Kepandean
– Sungai Jeruju – Boom Baru – Kenten. Pertempuran pertama terjadi pada
hari Rabu 1 Januari 1947. Belanda melancarkan serangan dan tembakan yang
terus menerus diarahkan ke lokasi pasukan RI yang ada di sekitar RS
Charitas. RS Charitas berada di tempat yang strategis karena berada di
atas bukit sehingga menjadi basis pertahanan yang baik bagi Belanda.
Daerah Front Seberang Ilir (RS Charitas) menjadi tanggung jawab dari
Komandan Resimen Mayor Dani Effendi. Basis strategi pertahan di Front
Seberang Ilir Timur terutama berlokasi di depan Masjid Agung, simpang
tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang Pasar Cinde), Lorong Candi
Angsoko dan di Jalan Ophir (sekarang Lapangan Hatta).
Dibawah pimpinan Mayor Dani Effendi, Pasukan TRI melancarkan serangan
ke Rumah Sakit Charitas dan daerah di Talang Betutu. Serangan ini
dilakukan bersama dengan satu kompi dan Batalyon Kapten Animan Akhyat
yang bertahan di simpang Jalan Talang Betutu (Perwiranegara, 1987: 67).
Tujuan serangan ini adalah untuk memblokir bantuan Belanda yang datang
dari arah Lapangan Udara Talang Betutu menuju arah Palembang dan
menghalangi hubungan antara pusat pertahanan Belanda di RS Charitas
dengan Benteng.
Pada sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan pasukan tank dan
panser untuk menerobos pertahanan dan barikade Pasukan TRI di sepanjang
Jalan Tengkuruk. Mereka kemudian berhasil menduduki Kantor Pos dan
Kantor Telepon melalui perlawanan yang seru dari Pasukan TRI. Dengan
berhasilnya Belanda menduduki Kantor Telepon, maka hubungan melalui alat
komunikasi menjadi terputus secara total. Setelah itu, belanda
memperluas gerakannya hingga menduduki Kantor Residen dan Kantor
Walikota. Pasukan TRI yang berada di daerah tersebut mengundurkan diri
ke Jalan Kebon Duku dan Jalan Kepandean sedangkan di RS Charitas,
kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan dari Pasukan TRI.
Pada
pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama diarahkan terhadap
pasukan dan pertahan Belanda di RS Charitas. Namun, Belanda berhasil
menerobos lini Talang Betutu setelah terlebih dahulu berhadapan dengan
Lettu Wahid Uddin bersama Kapten Anima Achyat. Belanda telah memperkuat
tempat-tempat yang telah mereka kuasai, terutama di depan Masjid Agung.
Sementara itu, kapal-kapal perang (korvet) Belanda mulai hilir mudik di
Sungai Musi sambil menembakan peluru mortirnya kesegala arah. Secara
spontanitas, rakyat dan pemuda di dalam kota dan luar kota turut serta
bertempur melawan Belanda.
Mobilisasi umum di kalangan masyarakat
agraris-tradisional terus berlangsung untuk menghadapi Belanda. Melihat
kemajuan-kemajuan dipihak kita, Belanda pun segera mengadakan
pengintaian, bahkan melakukan tembakan dari udara terhadap kereta api
yang membawa bahan makanan, bantuan dari Baturaja, Lubuk Linggau, dan
Lahat. Rakyat yang berada di Front Seberang Ilir menjadi sangat
menderita karena keterbatasan kesediaan pangan akibat Sungai Musi
dikuasai Belanda dan penembakan kereta api.
Oleh karena lokasi Markas Besar Staf Komando Divisi II tidak lagi
aman, maka dipindahkan dari Sungai Jeruju ke daerah Kenten, tepatnya di
Jalan Duku. Hal ini disebabkan karena Belanda terus-menerus melakukan
pengintaian dan pengeboman terhadap markas-markas Pasukan TRI/Lasykar.
Keberhasilan pengeboman jarak jauh yang dilakukan Belanda tidak terlepas
dari peranan para pengintai atau mata-mata.
Ternyata dalam pemeriksaan dan interogerasi yang dilaksanakan,
memberi banyak petunjuk bahwa pihak Belanda secara licik menggunakan
warga kota keturunan Tionghoa sebagai informan mereka, disamping sebagai
pelayan kegiatan ekonomi bagi kepentingan Belanda.
Kapten Alamsyah Ratu
Perwiranegara menilai bahwa kasus mata-mata ini sangat sensitif, ia
segera memerintahkan Letnan Dua Asmuni Nas untuk merazia dan menyita
semua telepon yang digunakan oleh keturunan Tionghoa di sepanjang Pasar
16 Ilir.
Pertempuran hari ketiga berlangsung pada hari Jum’at, tanggal 3
Januari 1947. Saat itu, Kolonel Mollinger memerintahkan angkatan
perangnya (Darat, Laut, dan Udara) untuk menghancurkan semua garis
pertahanan Pasukan TRI/Lasykar. Ini menunjukan terjadinya konsep perang
tiga matra yang dilakukan Belanda di Palembang.
Berdasarkan perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis baja
keluar dari Benteng menuju RS Charitas menerobos Jalan Tengkuruk,
melepaskan tembakan di sekitar Masjid Agung dan Markas BPRI. Gerakan
penerobosan Belanda ke Charitas itu dihambat oleh pasukan kita yang
berada di Pasar Cinde dengan ranjau-ranjau, manun gagal karena
ranjau-ranjau tersebut gagal meledak. Akibatnya Pasar Lingkis (Cinde)
dapat dikuasai oleh musuh. Tapi, sore harinya pasar itu dapat dikuasai
kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII). Senjata dan amunisi yang
dimiliki pasukan RI jumlahnya terbatas, dan sebagian besar senjata yang
digunakan oleh pasukan kita banyak yang telah tua (out of date) sebagai
hasil rampasan dari serdadu Jepang (Abdullah, 1996: 43). Sampai hari
ketiga, keadaaan Palembang sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima kota
telah hancur terkena serangan bom dan peluru mortir Belanda.
Image:
palembangtempodulu.multiply.com
Kehancuran Kota Palembang karena bom-bom Belanda tersebut ditambah
lagi dengan adanya aksi bumi hangus, seperti jembatan kayu di 24 Ilir,
atas perintah Kepala Pertahanan Divisi II, Kapten Alamsyah. Pembongkaran
ini dimaksudkan agar jembatan tidak digunakan oleh Belanda untuk
menerobos dari arah Bukit Kecil menuju Charitas. Bahka, perintah yang
benar-benar ditakuti Belanda adalah “aksi bumi hangus Plaju dan Sungai
Gerong.”
Pada pertempuran hari keempat (4 Januari 1947), Belanda menfokuskan
pertahanan di Plaju. Sehingga pasukan Mayor Dani Effendi berhasil
memanfaatkan situasi tersebut untuk menguasai Charitas dan sekitarnya.
Akibatnya pasukan Belanda mulai terdesak. Pasukan TRI berhasil mendekati
gudang amunisi di RS Charitas dan menembak serdadu Belanda yang
berusaha mendekati gudang tersebut.
Pada 5 Januari 1947, pihak Belanda dapat menguasai beberapa tempat
dengan bantuan kapal-kapal perang yang hilir mudik di Sungai Musi dan
pesawat terbang yang menjatuhkan bom-bom ke arah posisi Pasukan TRI.
Namun demikian pasukan Belanda mengalami hal yang sama dengan Pasukan
TRI yaitu letih, kurang tidur dan merasa stress, sedangkan Pasukan TRI
telah banyak menderita kerugian baik dari materi ataupun yang gugur dan
luka-luka
Front Seberang Ilir Barat meliputi kawasan mulai dari 36 Ilir yaitu
meliputi Tangga Buntung – Talang – Bukit Besar – Talang Semut – Talang
Kerangga – Emma Laan – Sungai Tawar – Sekanak – Benteng.
Markas Batalyon 32 Resimen XV Divisi II dipimpin Makmun Murod yang
berda di Front Seberang Ilir Barat, yaitu di Sekanak. Komandan Resimen
XV dan Komandan Batalyon 32/XV beserta para perwira yang berada di
markas, sibuk mengatur pertahanan dan merencanakan untuk menyerang
benteng-benteng pertahanan Belanda. Suara tembakan yang saling
bersahutan sudah semakin gencar diselingi oleh dentuman senjata-senjata
berat yang ditembakan dari pos-pos dan gedung-gedung pertahanan Belanda
ke arah kubu pertahana Pasukan TRI dan barisan pertahanan rakyat.
Pada pertempuran yang terjadi pada tanggal 1 Januari 1947,
pasukan-pasukan disekitar belakang Benteng mulai terdesak lalu
mengundurkaan diri ke sekitar Jalan Kelurahan Madu dan Jalan Kebon Duku.
TRI/Lasykar yang berlokasi di Bukit terpaksa mengubah taktik yaitu
memencarkan diri masuk ke kampung-kampung di sekitar Bukit Siguntang dan
sekitarnya. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah pasukan Belanda yang
akan menerobos ke 35 Ilir. Karena apabila pasukan Belanda yang akan
beroperasi di 36 Ilir, Suro, 29 Ilir dan Sekanak akan terkepung. Usaha
pasukan TRI dibawah pimpinan Mayor Surbi Bustam dilakukan untuk
menyerang Gedung BPM Handelszaken. Serangan ini dibantu oleh Kapten
Makmun Murod, Letnan Satu Asnawi Mangkualam dan Kapten Riyacudu. Dalam
pertempuran tersebut, seorang prajurit yang diketahui pemuda keturunan
Tionghoa, Sing, tertembak dan gugur. Belanda dengan menggunakan
kendaraan berlapis baja dan persenjataan modern berhasil menguasai
Kantor Pos, Kantor Telegraf, Kantor Residen, Kantor Walikota dan di
sekitar Jalan Guru-guru di 19 Ilir.
Secara keseluruhan, pertempuran pada hari pertama tersebut, inisiatif
sepenuhnya berada di tangan Pasukan TRI dan pejuang. Belanda dengan
segala kemampuannya berusaha mempertahankan pos-pos pertahanan dan
kedudukannya sambil terus malancarkan tembakan-tembakan ke arah pasukan
yang menyerang. Pasukan Belanda boleh dikatakan tidak berani keluar dari
kubu pertahannya, terutama yang berkududkan di Seberang Ilir, karena
gencarnya serangan Pasukan TRI dan Lasykar. Pasukan Belanda hanya
membalas tembakan dari tempat perlindungan, dengan memuntahkan peluru
mortir dan dengan tembakan howitzer untuk sasaran jarak jauh.
Belanda menerapkan sistem pertahanan saling dukung antar pos-pos
mereka. Jika satu tempat pertahanan terkepung oleh Pasukan TRI, maka
dalam waktu singkat mendapat bantuan dari kubu pertahanan Belanda
lainnya. Bantuan sering berupa tembakan, mortir atau howitzer atau
dukungan tembakan dari kapal perang De Ruiter. Kapal perang Belanda
memang hilir mudik di Sungai Musi, khususnya jenis korvet.
Pada pertempuran hari kedua, Belanda menembakan mortirnya dengan
membabibuta ke arah Sekanak sampai ke Tangga Buntung. Tujuan utama
adalah menembaki markas batalyon dan pos-pos pertahanan TRI dan rakyat
yang terdapat antara Sekanak sampai Tangga Buntung. Tidak dapat
dihindari lagi peluru tersebut telah mengenai daerah pemukiman penduduk.
Gencarnya tembakan yang dilakukan Belanda dari benteng pertahanan dan
dan pesawat udara pada 2 Januari 1947 menyebabkan Staf Komando Batalyon
32/XV oleh Mayor Zurbi Bustam bersama Kapten Makmun Murod dipindahkan ke
Talang. Daerah Suro dan Talang Kerangga pada saat itu tidak luput dari
serangan musuh.
Dengan dorongan semangat dan do’a, Pasukan TRI tetap berusaha untuk
mempertahankan diri. Penambahan pasukan terjadi melalui Batalyon Ismail
Husin dari Lampung yang berhasil menyeberang melalui Tangga Buntung.
Rakyat atau penduduk sipil pun ikut serta memberikan bantuan tenaga.
Keterbatasan senjata tidak membuat pasukan kita menyerah. “molotov”
adalah bensin yang dimasukan ke dalam botol dicampur dengan karet untuk
kemudian diberi sumbu memjadi alat yang sangat efisien. Kapten Alamsyah
memerintahkan Sersan Mayor M. Amin Suhud untuk mencuri persediaan bensin
Belanda yang akan digunakan untuk membuat bom molotov. Sersan Mayor M.
Amin Suhud mendapatkan bensin. Kesulitan bahan makanan dialami oleh
Front Seberang Ilir Barat karena blokade yang dilakukan oleh Belanda.
Dalam kondisi demikian, bantuan bahan makanan dari dapur umum di garis
belakang yang dikirim ibu-ibu dan remaja puteri sangat berarti. Begitu
pula peran anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan PPI (Pemuda Puteri
Indonesia) yang mengurus korban pertempuran dan mengurus bahan makanan.
Pada hari ketiga, pertempuran tiga matra yang dilakukan oleh Belanda
semakin aktif, setelah dikeluarkan perintah oleh Kolonel Mollinger untuk
menghancurkan garis pertahanan RI di Emma Laan (Jalan Kartini) dan
Sekolah MULO Talang Semut. Pasukan TRI yang dibawah pimpinan Letda Ali
Usman berhasil menghancuran sekitar 3 regu Pasukan Belanda yaitu Pasukan
Gajah Merah (Perwiranegara, 1987: 75). Belanda tidak tinggal diam,
segera membalas serangan di Emma Laan. Sehingga pada pertempuran hari
keempat, Sabtu tanggal 4 Januari 1947, Pasukan TRI/Lasykar terdesak
sehingga mundur ke arah Kebon Gede,Talang dan Tangga Buntung.
Sebagai resiko perjuangan dari bangsa yang baru merdeka, maka setiap
gerakan pasukan musuh berakibat pada pemindahan dislokasi pasukan.
Walaupun situasi pertempuran selalu dilaporkan kepada komando
pertempuran. Namun laporan tersebut mengalami keterlambatan akibat
sulitnya hubungan komunikasi.
Pada hari kelima pertempuran di Front Seberang Ilir Barat terus
berlangsung, walaupun Pasukan TRI/Lasykar dan rakyat mulai menampakkan
keletihan dan pengiriman makanan dari dapur umum mulai tidak teratur
lagi akibat blokade Belanda. Sebenarnya blokade ini juga berdampak pada
pihak Belanda juga karena bahan makanan dari luar kota sulit masuk ke
Kota Palembang.
Front Seberang Ulu meliputi kawasan mulai dari 1 Ulu Kertapati sampai
Bagus Kuning, selanjutnya meliputi kawasan Plaju – Kayu Agung – Sungai
Gerong. Untuk tanggung jawab pertahanan dan keamanan di daerah Palembang
Ulu dibebankan kepada Batalyon 34 Resimen XV dengan Komandan Batalyon
Kapten Raden Mas yang bermarkas si sekolah Cina 7 Ulu (sekarang SHD),
yang melakukan perlawanan di Kertapati sampai Plaju.
Pada awal pertempuran tanggal 1 Januari 1947, tembakan mortir dari
pasukan Belanda yang dberada di Bagus Kuning, Plaju dan Sungai
Gerongterus ditujukan ke markas batalyon yang dipimpin Kapten Raden Mas.
Namun demikian, kapal perang Belanda yang berada di Boom Plaju atau
Sungai Gerong belum dapat bergerak leluasa, karena dihambat oleh pasukan
ALRI di Boom Baru.
Image :
palembangtempodulu.multiply.com
Lokasi di perairan Sungai Musi sebelum pertempuran merupakan salah
satu tempat berlangsungnya aktivitas perekonomian. Namun ini berbeda
pada hari pertama pertempuran. Motorboat milik Belanda melaju dari arah
Plaju menuju Boom Yetty yang diduga membawa bahan persenjataan pasukan
Belanda, Pasukan TRI berusaha menyerang namun tidak berhasil.
Kompi I yang berkedudukan di Jalan Bakaran Plaju, dipimpin Lettu
Abdullah di Jalan Kayu Agung dan Sungai Bakung diberi tugas untuk
menghadapi Belanda. Begitu juga Kompi II yang dipimpin Letda Sumaji
bertugas menghadapi Belanda di Bagus Kuning dan Sriguna, sedangkan Kompi
II dibawah pimpinan Letda Z. Anwar Lizano bertugas menghadapi Belanda
di pinggir Sungai Musi yang letaknya sejajar dengan Boom Yetty sampai
Pasar 16 Ilir. Pertempuran yang telah terjadi menimbulkan semangat
patriotisme di kalangan pasukan TRI. Bantuan pasukan segara menuju
Palembang. Letkol Harun Sohar telah melepaskan pemberangkatan pasukan
menuju Kertapati dan Lahat dengan menggunakan kereta api.
Kelelahan pasukan Belanda dimanfaatkan oleh Letnan Dua S. Sumaji yang
merencanakan serbuan dini hari, pada tanggal 2 Januari 1947. Pasukannya
dibantu dari Lasykar Pesindo, Napindo dan Hizbullah. penyerbuan
tersebut membuahkan hasil. Pasukan TRI/Lasykar dapat menguasai
gudang-gudang persenjataan musuh, sedangkan pasukan Belanda mengundurkan
diri ke kapal-kapal perang mereka. Bendera Belanda si tiga warna yang
terpancang di depan asrama telah diturunkan, kemudian dirobek warna
birunya dan dinaikkan kembali dengan keadaan si Dwiwarna, Sang Saka
Merah Putih. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama pasukan Belanda
kemudian melepaskan tembakan-tembakan mortir ke arah kedudukan Pasukan
TRI/Lasykar.
Setelah Komandan Mollinger mengeluarkan perintah kepada seluruh unsur
kekuatan darat, laut dan udara. Belanda untuk meningkatkan gempuran dan
berusaha menerobos setiap garis pertahanan TRI dan badan-badan
perjuangan rakyat. Pewasat-pesawat terbang dan kapal-kapal perang
Belanda semakin menggiatkan aksinya, terutama di daerah-daerah yang
menjadi tempat bertahan pasukan-pasukan TRI yang berada di Seberang Ulu
dan Ilir. Kapal perang jenis korvet menembakan mesin kesepanjang Sungai
Musi terutama di pos-pos pertahanan RI, terutama yang berlokasi di
sekitar 7 Ulu.
Akibatnya Pasukan TRI dan Lasykar terpaksa membalas dengan
menggunakan senjata bekas persenjataan Jepang, yaitu meriam pantai milik
kompi III Batalyon 34 di 7 Ulu di tepi Sungai Musi. Dengan menggunakan
senjata seperti itu, pasukan Hizbullah dibawah pimpinan Letkol (Lasykar)
M. Ali Thoyib berhasil menembak sebuah motorboat Belanda yang sedang
mengangkat amunisi milik Belanda dari Plaju menuju ke Benteng. Serangan
terhadap motorboat Belanda mengakibatkan kemarahan pasukan Belanda.
Mereka membalas dengan mengirim pesawat Mustang dan secara terus-menerus
menhujani basis pasukan di 7 Ulu dengan tembakan bertubi-tubi selama
dua jam. Hal ini menimbulkan korban yang besar di kalangan Pasukan
TRI/Lasykar dan rakyat. Bantuan terhadap pasukan Front Seberang Ulu
datang dari Lahat dan Baturaja dikirim ke Bagus Kuning.
Pada tanggal 4 Januari 1947 di Front Seberang Ulu pasukan Belanda
semakin memperhebat tekannya terhadap pasukan RI sehingga pasukan TRI
yang berada di Bagus Kuning mengundurkan diri ke 16 Ulu. Kapal-kapal
perang Belanda melakukan patroli mulai dari perairan Sungai Gerong di
bagian Hilir sampai ke perairan Kertapati, Keramasan di bagian Hulu.
Pada hari kelima, tanggal 5 Januari 1947, pasukan kita dalam keadaan
lelah, sekalipun hal itu tidak mengendorkan semangat perjuangan.
Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran
Sejak
tanggal 4 Januari 1947 di Kota Palembang telah menerima kedatangan
Kapten A.M. Thalib, utusan Panglima Divisi II Bambang Utoyo, yang
mengabarkan tentang keinginan Mollinger untuk berunding. Ternyata
Gubernur Muda telah menerima berita dari Jakarta lewat telegram yang
diterima oleh pemancar darurat dibawah pimpinan Herry Salim, bahwa akan
datang ke Palembang secepatnya Dokter Adnan Kapau Gani sebagai utusan
pemerintah pusat untuk melakukan perundingan gencatan senjata dengan
pihak Belanda.
Perundingan ini dilakukan oleh pihak RI dikarenakan ada kepentingan strategis dengan alasan:
pertama, mencegah korban lebih banyak
kedua, kita perlu mengadakan konsolidasi kekuatan kembali
ketiga, dari segi politis akan memberikan gambaran kepada
dunia internasional bahwa RI cinta perdamaian, sekaligus menegaskan
bahwa pemerintah pusatnya dipatuhi oleh daerah-daerahnya.
Perhitungan yang melandasi berunding dari pihak RI adalah berdasarkan:
Pertama, perjuangan kemerdekaan akan memakan waktu cukup lama, mungkin bertahun-tahun.
Kedua, hampir 60% pasukan RI di Sumatera Selatan berada di Kota
Palembang, bila sampai bertempur habis-habisan akan memperlemah
kekuatan pada masa selanjutnya.
Setelah itu, ditetapkan tiga orang delegasi yang melakukan
pejajakan
perundingan. Mereka adalah dr. M. Isa, Gubernur Muda yang mewakili
Pemerintah Sipil; Mayor M. Rasyad Nawawi, Kepala Staf Divisi Garuda II
yang mewakili pasukan-pasukan dari Komando Pertempuran dan Komisaris
Besar Polisi, Mursoda, yang mewakili Kepolisian (Perikesit, 1995: 69)
Perundingan antara RI – Belanda dilaksanakan pada tanggal 5 Januari
1947, di Rumah Sakit Charitas. Formasi delegasi pun ditambah dengan
Kolonel Bambang Utoyo, Komandan Divisi Garuda II, yang ditunjuk sebagai
Ketua dan Mayor Laut A.R. Saroingsong. Pertemuan dengan pihak Belanda
sebenarnya telah mereka nanti-nantikan, sebab posisi Belanda benar-benar
terjepit dan belum bisa mengadakan link up. Mereka masih terkurung
dalam kubu per kubu yang terpisah satu sama lainnya.
Dalam perundingan tersebut pihak Belanda menuntut Kota Palembang
dikosongkan dari seluruh pasukan TRI. Namun hal itu ditolak oleh
delegasi RI. Pihak RI bersedia menarik TRI dan Lasykar dari kota, tapi
ALRI, Kepolisian dan Pemerintahan Sipil tetap berada di dalam kota.
Dengan alasan bahwa ALRI tidak mempunyai hubungan dengan Angkatan Darat.
Adapun maksud tersembunyi adalah Pasukan ALRI yang tinggal di Kota
Palembang akan menjadi penghubung dan mata-mata, disamping Polisi dan
Pemerintahan Sipil, guna mengawasi kegiatan Belanda.
Akhirnya Pertempuran Lima Hari Lima Malam diakhiri dengan gencatan
senjata (cease fire) antara kedua belah pihak, dimana TRI/Lasykar harus
kelur dari Kota Palembang sejauh 20 Kilometer kecuali Pemerintah Sipil
RI dan ALRI masih tetap berada di dalam kota. Sedangkan pos-pos Belanda
hanya boleh sejauh 14 Km dari pusat kota. Jalan raya di dalam kota
dijaga pasukan Belanda dengan rentang wilayah 3 Km ke kiri dan kanan
jalan. Hasil perundingan ini selanjutnya segera disampaikan ke markas
besar TRI di Yogyakarta.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam merupakan upaya yang dilakukan
Pasukan TRI, Lasykar dan Rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan di Kota
Palembang. Dalam pertempuran itu, pihak lawan menguasai udara dan
perairan (air and sea superioritary). Karena superioritas itulah mereka
dapat bertahan dan disinilah pula terletak kelemahan kita serta tidak
mempunyai perhubungan yang modern.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan pertempuran
tiga matra dan perang terbesar dan terlengkap yang pertama kali kita
alami. Namun pihak kita hingga akhir pertempuran masih dapat bertahan
berkat semangat pengorbanan jiwa, jihad dan patriotisme yang besar dari
para pejuang dan rakyat.
Sumber : http://etnics.blogspot.com/2015/08/perang-palembang-di-awal-kemerdekaan.html