Menurut Barbara F. Grimes (dalam Purwo, 2000) mencatat sebanyak 706 bahasa
daerah yang tersebar dari Sabang sampai Marauke. Di antara 100-an bahasa
di Indonesia itu, hampir separuhnya terdapat di Irian Jaya, yaitu
sebanyak 248. Tidak semua bahasa daerah yang tersebar di nusantara ini
memiliki aksara untuk merekam nilai-nilai budaya yang ada dalam
masyarakat pemilik bahasa itu. Bahasa daerah yang memiliki aksara adalah
bahasa Jawa, Bali, Sunda, Makassar (Bugis), Batak, dan Rencong.
Salah satu bahasa daerah yang cukup beruntung adalah bahasa Makassar
(Bugis). Dikatakan cukup beruntung karena bahasa daerah ini memiliki
aksara yang dapat merekam atau mencatat nilai-nilai luhur
(indigeneous knowledge) yang disebut
pasang ‘pesan-pesan’;
panngadakkang (Makassar) atau
panngaderreng (Bugis) “adat istiadat”. Hasil catatan atau manuskrip tersebut disebut
lontarak. Aksara Makassar (Bugis) digunakan mencatat manuskrip-manuskrip dikenal dengan sebutan aksara
lontarak. Selain itu, dijumpai pula manuskrip yang ditulis dalam aksara yang dikenal dengan aksara
serang.
Aksara lontarak merupakan lambang identitas daerah dan alat transformasi nilai-niiai luhur yang sangat berharga
(indigenous knowledge). Aksara
lontarak adalah salah satu aset kekayaan budaya yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai objek wisata budaya daerah. Selain itu, dapat
menjadi aset dan sumber pengembangan budaya nasional.
Selanjutnya, sebagai aset kekayaan budaya, tentu saja, perlu
diketahui mengapa dinamai aksara lontarak; dari mana asal usulnya; dan
niiai budaya yang terkandung di dalam lontarak tersebut. Untuk itu,
makalah ini berusaha mengungkapkan hal tersebut seperti dalam uraian
berikut.
Kenapa Disebut Aksara Lontarak?
Dari hasil kajian pustaka diperoleh informasi bahwa naskah kuno
Makassar (Bugis) ada yang ditulis dengan aksara lontarak dan ada yang
ditulis dengan aksara serang. Dinamai aksara lontarak karena memang dulu
peristiwa-peristiwa ditulis pada daun lontar. Frasa daun lontar sepadan
dengan
raung = daun dan
talak = lontar menjadi
rauttalak atau
rontalak dalam bahasa Makassar (dari bahasa Jawa atau bahasa Melayu). Kata
rontalak mengalami
proses metatesis menjadi lontarak (Basang, 1972: 10; Abidin, 1983: 109;
Pelras, 2006: 232), Dalam bahasa Makassar sehari-hari dikenal dengan
sebutan
lekok talak.
Selanjutnya, disebut pula sebagai aksara serang (huruf Arab) karena
kesusasteraan Makassar (Bugis) ditulis dalam aksara Arab sebagai
pengaruh dari agama Islam dan kesusasteraan Islam yang datang ke
Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17 (Mattulada, 1991b: 69).
Beliau menduga kata
serang itu berasal dan kata
Seram (Palau Seram). Dahulu orang Makassar (Bugis) selalu berhubungan dengan orang Seram yang Iebih dulu rnenerima agama Islam.
Arti Lontarak
Dalam perkembangan selanjutnya, kata
lontarak dapat mengandung arti bermacam-macam sesuai dengan konteks kalimatnya. Manyambeang (1996: 32) merincinya sebagai berikut.
a. Lontarak dapat berarti aksara, seperti dalam kalimat:
Appilajaraki lontarak.
belajar dia lontarak
(dia belajar huruf lontarak)
b. Lontarak dapat berarti naskah, seperti dalam kalimat;
Ciniki ri lontaraka.
‘Lihat isi di lontarak’ (lihatlah di lontarak)
c. Lontarak dapat berarti buku bacaan, seperti dalam kalimat,
laminne lontarakna I Kukang.
‘inilah buku bacaan i Kukang’
(inilah buku bacaan (yang berjudul) i Kukang).
d. Lontarak dapat berarti catatan, seperti dalam kalimat:
Boyai ri lontarak bilanga.
`carilah pada lontarak bilang’ (Carilah pada catatan harian)
4. Asal Usul Aksara Lontarak Makassar (Bugis)
Dari hasil penelusuran pustaka yang tersedia dijumpai beberapa
pendapat tentang perkembangan aksara Makassar (Bugis). Pendapat-pendapat
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Pendapat H. Kern.
H. Kern (1882) berpendapat bahwa aksara Makassar (Bugis) bersumber
dan huruf Sanskrit yang disebut Dewanagari. Aksara Dewanagari dapat
dilihat sebagai berikut:
b. Dalam Kamus Linguistik susunan Kridalaksana (1982: xx) ditunjukkan silsilah aksara yang penting, seperti berikut.
Menggambarkan aksara Palawa sebagai berikut
Pendapat Matthes dan Raffles.
Holle (1882) mengutip bentuk aksara yang dikemukakan oleh Matthes dan’ Raffles, seperti berikut:
Bentuk yang dikemukakan Matthes
Bentuk yang dikemukakan Raffles
Bentuk aksara yang dikemukakan, baik Matthes maupun Raffles biasa juga disebut lontarak kuno atau
het oude Makassaarche letterschrift (Mangemba
dan Tenribali (Ed.), 1966: 49). Bentuk lontarak kuno dan lontarak baru
dapat dikatakan jauh berbeda sehingga perlu dipertanyakan apakah
lontarak kuno yang mengalami proses perubahan menjadi lontarak yang
digunakan sekaran.
Pendapat Ahli Kebudayaan Bugis Makassar dari Sulawesi Selatan.
Mattulada (dalam Manyambeang, 1996: 29) merasa yakin bahwa aksara
Bugis Makassar berasal dan aksara Dewanagari yang diperbaharui oleh
Daeng Pamatte. Sejalan dengan pendapat itu, Basang (1972: 11)
mengemukakan beberapa persamaan aksara Dewanegari dengan aksara
Makassar, yaitu keduanya huruf silabis; keduanya menggunakan alat bantu
untuk menyatakan bunyi /i, e, o, dan u/; keduanya ditulis dari kiri ke
kanan. Adapun Yatim (1983: 5) memperhatikan susunan abjadnya. Dia
mengakui bahwa pengaturan abjad lontarak telah sampai kepada kesadaran
linguistik yang amat maju dan amat mirip dengan pengaturan abjad
Sanskerta, yang membedakan hanya bentuknya.
Selanjutnya, Mattulada (1991a: 68-9) menjelaskan bahwa terdapat
anggapan di kalangan orang Makassar (Bugis) berkaitan dengan penciptaan
tanda-tanda bunyi yang kemudian disebut aksara lontarak dilatarbelakangi
oleh suatu kepercayaan yang berpangkal pada mitologis orang Makassar
(Bugis) yang memandang alam semesta ini sebagai
bolasuji (Bugis) atau
“sulapak appak” (Makassar)
yang berarti `segi empat belah ketupat’. Sarwa alam ini merupakan satu
kesatuan yang dinyatakan dalam simbol S = sa yang berarti
seua (tunggal
atau esa). Demikian pula segala tanda bunyi dalam aksara lontarak
bersumber dari s = sa (Museum Nasional, 10/MP/NAS/76: 21; Mattulada,
1991: 4-85).
Simbol “s” ini menyimbolkan mikrokosmos
sulapa eppana taue “segi
empat tubuh manusia’. Bagian puncak terletak kepala, tangan kiri,
tangan kanan; dan bagian ujung bawah adalah kaki. Simbol S itu merupakan
pengejawantahan pada bagian kepala yang disebut
sawwang (SW) berarti mulut. Dari mulutlah segala sesuatu dinyatakan yang disebut
sadda (sd) berarti bunyi. Bunyi-bunyi itu disusun sehingga bermakna yang disebut
ada (ad) berarti kata, sabda atau titah.
Segala sesuatu yang meliputi keseluruhan tertib kosmos/sarwa alam diatur melalui
ada (ad). Dengan penambahan artikel definit E menjadi
ada’e (adea) yang menjadi pangkal kata
adek (adEE).
Adek adalah sabda (penertib) yang meliputi sarwa alam (5) sehingga disebut dalam kata-kata hikmat
pasang sebagai berikut.
sd mpbti adE adE mpbti gau gau mpbti tau
sadda mappabbatik ada ada mappabbatik gauk
gauk mappabbatik tau
Artinya:
Bunyi mewujudkan kata
Kata mewujudkan perbuatan
Pperbuatan mewujudkan manusia
Konsep
sulapak appak inilah dapat dibentuk aksara lontarak yang biasa disebut
urupu sulapak appak seperti berikut.
Pendapat lain yang bersumber dari Lontarak
Patturioloanga ri Tugowaya, seperti yang disinyalir (Manyambaeng, 1996; Basang, 1972) yang berbunyi sebagai berikut.
aiyp aen krea auru aperki rp bicr timu timu ri buduk.
sbnrn mien kreaG nikn dea pmet. aiy sbnr, ay tumaill, aiytomi dea pmet aperki Iotr mksr.
…iapa anne karaeng uru apparek rapang bicara, timu-timu ri
bunduka. sabannarakna minne karaenga nikana Daeng Pamatte. la
sabannarak, la Tumailalang, iatommi Daeng Pamatte ampareki lontarak Mangkasarak.
(.. dialah raja yang mula-mula membuat peraturan, hukum dalam perang.
Syahbandar raja inilah yang disebut Daeng Pamatte. Dia syahbandar, dia
juga Tumailalang, dia jugalah Daeng Pamatte yang membuat lontarak
Makassar).
Dalam lontarak di atas terdapat kata
ampareki yang dapat berarti `membuat atau menciptakan’, `menjadikan atau menyederhanakan’. Jadi, apabila kata
ampareki diartikan
menciptakan/membuat, dapatlah diartikan membuat sesuatu dari yang belum
ada menjadi ada. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa aksara
Makassar baru itu diciptakan oleh Daeng Pamatte yang diilhami oleh
pandangan hidup orang Makassar (Bugis) sendiri, yaitu
sulapak appak.
Sebaliknya, jika kata
ampareki diartikan `menyederhanakan
atau memodifikasi’, dapat diasumsikan bahwa Daeng Pamatte
menyederhanakan atau memodifikasi dari bentuk aksara yang sudah ada
sebelumnya (aksara Sanskrit/Dewanagari, huruf Pallawa, dan bentuk aksara
yang dikemukakan Matthes atau Raffles) menjadi aksara lontarak baru
yang ada sekarang.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Pelras (2006: 230) dan H. Kern
(dalam Manyambeang 1996: 3) beranggapan bahwa lontarak di Sulawesi
Selatan ada persamaan dengan aksara yang ada di Sumatera, seperti aksara
Lampung, Rejang, Batak, dan Pasemah. Berdasarkan informasi ini dapat
diasumsikan bahwa ada kemungkinan aksara Makassar baru merupakan hasil
penyederhanaan atau modifikasi dari aksara tersebut yang dilakukan oleh
Daeng Pamatte. Bila dilihat sepintas lalu, aksara Batak, aksara
Makassar, dan aksara rencong hampir serupa. Bahkan kadang-kadang agak
sulit dibedakan ketiga bentuk aksara tersebut.
Di dalam buku Sejarah Melayu disebutkan tentang peperangan raja
Mangkasar yang bernama Samarluki (Saman Rukka) ke Malaka dan daerah
jajahannya, termasuk Batak. Peristiwa ini diceriterakan berlangsung pada
masa pemerintahan Sultan Mansur Shah sekitar tahun 1440. Walaupun ia
dapat dipukul mundur oleh tentara Melayu, ia berhasil membawa harta
rampasan, baik berupa barang maupun tawanan perang (Brown dalam Reid,
2004: 147; Museum nasional, 10/MP/NAS/76: 24).
Tidak tertutup kemungkinan di antara para tawanan itu terdapat
orangorang Batak yang terampil menulis dan membaca tulisan Batak. Dpri
merekalah orang Makassar belajar tulisan Batak tersebut. Selanjutnya,
mereka meniru atau menyederhanakan huruf Batak itu sehingga berwujud
tulisan Makassar sekarang.
Nilai Budaya dalam Lontarak
Sistem nilai atau nilai-nilai dalam masyarakat
merupakan suatu konsep abstrak mengenai apa yang buruk dan apa yang
balk. Pepper (dalam Djajasudarma 1997: 12) menjelaskan bahwa batasan
nilai mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban, agama,
kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, atraksi, perasaan, dan
orientasi seleksinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang balk dan
buruk dapat disebut sebagai nilai. Nilai budaya ini diasosiasikan secara
turun-temurun dari generasi yang satu ke generasi yang lain. la
dianggap sebagai pedoman manusia dalam bertingkah laku dalam sistem
sosialnya. Jadi, sistem nilai dapat dikatakan sebagai norma standar
dalam kehidupan bermasyarakat. Djajasudarma. dkk. (1997: 13)
mengemukakan bahwa sistem nilai begitu kuat, meresap, dan berakar di
dalam jiwa masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu
singkat. Berkaitan dengan hal tersebut, Sumardjo (dalam Oktavianus 2006:
117) menyatakan sebagai berikut:
Filsafat orang Indonesia termasuk nilai budaya tersimpan di batik
pepatah-petitih, di batik rumah-rumah adat, di batik upacara-upacara
adat, di batik mitos-mitos tua, di balik ragam hias pakaian yang mereka
kenakan, di batik tarian mereka, di balik musik yang mereka mainkan, di
balik persenjataan, dan balik sistem pengaturan sosialnya.
Dari pernyataan di atas, bahasa melalui pepatah-petitih merupakan
medium untuk menampilkan makna budaya yang di dalamnya terkandung nilai
(value). Peribahasa
merupakan bagian dari komunikasi sistem budaya (Dundes dan Arewa dalam
Oktavianus, 2006: 117). Sepadan dengan pendapat itu, Duranti (1997: 25;
Foley, 1997: 16) menjelaskan bahwa bahasa mengategorisasi realitas
budaya. Bahasa menampakkan sistem klasifikasi yang dapat digunakan untuk
menelusuri praktek-praktek budaya dalam suatu masyarakat. Model-model
budaya yang dimaksud di sini mencakup mentalitas kerja, sikap, perilaku,
etika, dan moral. Berikut ini diberikan beberapa contoh pepatah atau
kelong yang mengandung model budaya yang dimaksud.
Motivasi Berusaha dan Bekerja
Untuk memenuhi kebutuhannya manusia diisyaratkan rajin berusaha.
Kelong berikut mengandung makna yang mencerminkan motivasi berusaha
sebagai salah satu praktek budaya dan paling tidak merupakan cerminan
realitas sebagaimana dijelaskan Duranti di atas.
puun kutuai tauw
punna kuttui taua
neta sulu soGon
natea suluk songokna
tean todo
taena todong
titi soGo Inty
titti songok la natayang.
Terjemahan: Kalau orang malas
Tidak mau keluar keringatnya Tidak ada juga
Tetes keringat yang ditunggu.
Kelong di atas mencerminkan bahwa kalau orang malas bekerja, tentu
saja, tidak ada hasil yang akan diperoleh. Kelong ini sepadan dengan
ungkapan dalam bahasa Indonesia “Siapa yang menanam, dia akan menuai”.
Rasa Solidaritas
Solidaritas merupakan integrasi sosial yang didasarkan kepada
interdependensi okupansional, persamaan-persamaan, dan bahkan juga pada
perbedaan-perbedaan komplementer (Soekanto dalam Oktavinus, 2006: 119).
Integrasi sosial dapat diartikan sebagai kesetiakawanan, kebersamaan,
dan kekompakan dalam menghadapi suka duka.
meaki kismturu
maekik kissamaturuk
kiemet bulo sibt
kirnmenteng bulo sibatang
nmtumtu
nakmatu.-matu
bett aGod del
baieta anngondang dallek
Terjemahan: Mari kita bersama-sama Berdiri sebatang bambu Supaya berguna
Cara kita mencari rezki.
Kelong tersebut mencerminkan bahwa dalam mengerjakan suatu pekerjaan,
sebaiknya kita mengadakan kerja sama dengan orang lain agar pekerjaan
itu cepat selesai dan berhasil.
Etika, Moral, dan Sopan Santun
Etika falsafah atau hukum membedakan hal yang baik dan yang buruk
dalam kelakuan manusia, sedangkan moral adalah ukuran baik buruknya
tingkah laku yang menyangkut pengontrolan diri, keyakinan diri, dan
kedisiplinan tindakan (Dreyer dalam Oktavianus, 2006: 124). Adapun
kesopanan yang terkandung dalam bahasa mencerminkan tingginya peradaban
suatu bangsa atau tingginya martabat seseorang (Poedjosoedarmo, 2001:
186). Hal tersebut dapat dilihat dalam ungkapan berikut.
nikny sulp apn tauw aiymitu niy sirin niy pecn niy pGlin n niy pGdkn
nikanaya sulapak appakna tau, iamintu niak sirikna, niak paccena.
niak panngalikna, na niak panngadakkanna.
Terjemahan: Yang disebut kesegiempatan manusia ialah manusia yang
memiliki harga diri, memiliki rasa kesetiakawanan, menghargai orang
lain, dan memiliki sifat sopan santun.
Dalam ungkapan di atas tercermin konsep
sipakatau `sating menghargai’, konsep
sirik ‘harga diri’, konsep
pacce ‘kesetiakawanan’, konsep
panngalik ‘perasaan hormat’, dan konsep
panngadakkang ‘adat-istiadat/sopan santun’. Konsep
sipakatau `sating
rnenghargai’ menjadi inti atau pangkal dalam interaksi sosial sesuai
dengan nilai-nilai positif yang ada dalam budaya Makassar. Konsep
sink `harga
diri adalah suasana hati dalam masyarakat, bukan semata-mata sebagai
“pertahanan martabat diri” yang ditimbulkan secara emosional dari
simultan nilai-nilai khusus.
Konsep
pacce `solidaritas’ adalah
iba hati melihat sesama warga yang mengalami penderitaan atau tekanan
batin atas perbuatan orang lain atau sejenisnya. Kedua konsep ini
merupakan sikap moral yang menjaga stabilitas dan berdimensi harmonis
agar tatanan sosial atau adat istiadat berjalan secara dinamis (Hamid,
2003: xii). Konsep
panngalik ‘perasaan hormat adalan rasa hormat kepada seseorang atau sesuatu yang dianggap bersih dalam arti luas. Konsep
panngadakkang ‘adat-istiadat
adalah himpunan kaidah-kaidah sosial dalam masyarakat yang bermaksud
mengatur tata tertib masyarakat (Wahid, 1992: 89). Jika seseorang
berhasrat akan melakukan sesuatu, segala rencana terpuiang pada adat.
Adatlah yang merupakan penentu patut tidaknya sesuatu yang akan
dilakukan. Keputusan yang diputuskan sesuai dengan proses adat, maka
semua pihak dapat menerimanya, sebagaimana terungkap dalam ungkapan
“punna panngadakkang taena erokku, taena kulleku” `jika sudah menyakut ketentuan yang sudah diadatkan, tidak berlaku kemampuanku’.
Lontarak merupakan lambang identitas daerah, mengandung nilai-nilai
luhur yang sangat berharga. Lontarak merupakan salah satu aset kekayaan
budaya daerah yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata
budaya.
Berkaitan dengan asal usul lontarak Makassar terdapat beberapa
pendapat yang berbeda. Oleh krena itu, disarankan perlu kajian yang
lebih akurat sehingga diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif.
Sumber bacaan :
Abidin. Zainal. 1983.
Persepsi Orang Bugis, Makassar tentang Hukum. Negata dan Dunia luar. Bandung: Penerbit Alumni.
Basang, Djirong. 1972.
Fonemik Bahasa Makassar. Ujung Pandang: Lembaga Bahasa Nasional Cabang 111
Djajasudarma T. Fatimah, dkk. 1997.
Nilai Budaya dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Duranti, Aessaridro. 1997.
Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Foley, Wilham A. 1997.
Anthropology Linguistics: An Introduction. New York: Blackwell.
Hamid, Abu. 2003.
“Sid’ Butuh Revitalisasi’. Dalam Mustafa. dkk.,.(Eu.) Sini dan Passe: Harga Did Orang Bugis. Makassar, Mandar dan Toraja. Makassar: Pustaka Refleks.
Kridalaksana, Harimurti. 1982.
Kamaus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
www.wacananusantara.org
Maknun, Tadjuddin, 1991. “Beberapa Catatan tentang Perkembangan
Aksara Makassar”. Makalah Disajikan pada Seminar Sehari dalam Rangka
Dies Natalis ke-32 Fak. Sastra Unhas, 9-11-1991.
2007. “Menyempurnakan Aksara Lontarak untuk Memudahkan Pemahaman
Kandungan Lontarak”. Makalah Disajikan pada Kongres Internasional
Bahasabahasa Daerah se-Sulawesi Selatan pada 22-25 Juli 2007 di Hotel
Clarion Makassar.
Manyambeang, Kadir. 1996. “Lontaraq Riwayaqna tuanta salamaka ri
Gowa: Suatu Analisis Linguistik Filologis”. Disertasi Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Mattulada. 1991a. “Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar dan Kaili di
Sulawesi. Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya Indonesia No. 43 Th. XV
Januari-April 1991.
1991b.
Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Museum Nasional. 1976. “Mengenal Aneka Ragam Tulisan Daerah di
Indonesia”. Jakarta: Direktorat Museum, Ditjen Kebudayaan Depdikbud No.
10/MP/NAS/76.
Oktavianus. 2006. “Nilai Budaya dalam ungkapan Minangkabau: Sebuah
Kajian dari Perspektif Antropologi Linguistik”. Jurnal Linguistik
Indonesia Tahun ke-24, Nomor 1. Jakarta: MLI bekerja sama dengan Obor
Indonesia.
Pelras, Christian. 2006.
Manusia Bugis. Jakarta: Nalar.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 2001.
Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Reid, Anthony. 2004.
Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Wahid, Sugira. 1992. “Metafora Bahasa Makassar”. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Yatim, Nurdin. 1983. “Subsistem Honorofik Bahasa Makassar: Sebuah
Analisis Sosiolinguistik”. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,. Direktorat Pembinaan Penelitian,
dan Pengembangan dalam Masyarakat.
http://etnics.blogspot.com
Makalah ini disampaikan pada Kongres Kebudayaan Indonesia 2008 pada tanggal 10-12 Desember di Bogor.