mematikan, dan racun racun inilah yang dipakai nenek moyang kita dalam memerangi penjajah pada zaman dahulu. Mungkin dibenak kita apa mungkin sebuah mata tombak, atau panah bisa membuat musuh mati dengan cepat, karena kita tahu penjajah yang pernah menjajah negeri ini telah memiliki senjata yang lebih modern yaitu senjata api. untuk saat sekarang senjata Biologis Mungkin adalah senjata mematikan dengan cara kerja dan effect yang cepat pada sasaran.
Pada postingan ini cybermales bukan mengajarkan cara membuat racun tapi memcoba menguak pikiran kita bahwa negeri ini memiliki apa saja yang bisa dimanfaat untuk apasaja. semua bahan ada disini jadi dengan menelaah sejarah kita bukan cuma melihat potongan cerita menang dan kalah, tapi proses dan kejadiannya yang lebih dalam.
Senjata tradisional negeri ini dominan bahan dari alam, seperti tombak, panah, bambu runcing, dulu penjajah
negeri ini bisa bertahan berabad abad mungkin karena kita belum memiliki persatuan, hanya kerajaan dan suku suku. masing masing suku mementingkan wilayah dan kerajaannya toh seandanyai dulu bisa bersatu bisa jadi negeri ini menjadi negeri paling makmur didunia.
Racun dari alam pada senjata perang suku nusantara.
Rumphius, ahli botani kelahiran Jerman dan bekerja untuk VOC Belanda yang pernah melakukan penelitian ilmiah di Ambon, menulis bahwa penduduk Makassar tahun 1650 menggunakan panah beracun saat penyerangan terhadap Ambon. Panah beracun ini pula yang digunakan rakyat Celebes (Sulawesi) saat perang melawan VOC Belanda. Ahli botani ini menulis bahwa racun yang masuk pembuluh darah terbawa ke seluruh tubuh dan terasa di otot, menimbulkan rasa terbakar, terutama di kepala, lalu korban pingsan dan mati. Menurutnya, racun ini memiliki derajat mematikan berbeda, tergantung lama dan cara pengawetan racun. Dan racun yang paling mematikan adalah “upas raja”, dan efeknya tak terobati lagi.Setelah menyaksikan banyak prajurit Belanda di Ambon dan Makassar mati akibat racun upas, Rumphius akhirnya menemukan obat penawar racunnya pada akar Radix toxicaria.
Name: Ipoh ( Upas tree )
Scientific Name: Antiaris Toxicaria.
Native: South East Asia, India and Sri Lanka.
Pohon upas (Antiaris toxicaria), yang kadang disebut ipoh (ipuh),anchar, tengis,ingas, adalah pohon besar
dengan ketinggian bisa mencapai 40 m serta kayunya putih dan ringan. Dahan-dahannya tumbuh horizontal dan tak beraturan. Pohon ini tumbuh di tanah subur, di dataran rendah dan hanya ditemukan hutan-hutan lebat. Sama seperti kayunya, warna getah upas adalah putih susu, namun lebih kental dan lengket dari susu. Cairan atau getah yang keluar dari batang (cortex) akan mengalir deras sehingga dapat terkumpul dengan cepat dalam satu cangkir. Pada pohon dewasa, torehan pada kulit kayu ini menghasilkan cairan kekuningan dan agak berbuih, sementara pada pohon muda warnanya lebih putih, baik dari pohon dewasa atau pohon muda getahnya akan bewarna kecoklatan di udara terbuka. Jika cairan ini mengenai kulit kita maka akan terasa perih dan terbakar. Karena getah kulit pohonnya mengandung racun, maka orang menamakan racunnya sebagai upas.
Penggunaan getah upas ini tidak langsung digunakan, melainkan harus diracik dengan bahan-bahan lain dalam
jerangan air dalam kuali (tentu tak sama persis di dengan suku-suku lain di Nusantara). Bahan-bahan untuk
meraciknya adalah: sekitar 8 ons (800 gram) cairan upas dikumpulkan dalam tabung bambu di sore hari, lalu
dituangkan ke kuali lantas direbus. Selama perebusan ini, cairan upas ditambahi arum atau nampu (tanaman
beracun juga), kencur, bengli, bawang merah dan bawang putih, masing-masing sebanyak setengah potong, dan ditambah sedikit bubuk lada hitam, sambil terus diaduk dalam mangkuk. Sementara cairan diaduk, sepotong cabai dibelah dan dikeruk hingga biji-biji cabai dikeluarkan kulitnya lantas dimasukkan ke dalam cairan yang tengah diaduk selama satu menit. Setelah biji-biji cabai diaduk, lalu bubuk lada hitam dan biji-biji cabai dimasukkan kembali, hingga tiga kali—jadi tiga menitan—sampai cairan berbuih dan membentuk lingkaran pertanda masak.
Selain upas, ada racun lain yang dihasilkan dari pohon chetik (The History of Java karya Raffles
menuliskannya demikian). Tanaman ini berupa semak lebat yang saling berpilin, akar yang tumbuh di atas tanah menyebar ke segala arah, di mana akar utamanya tumbuh menghunjam tanah. Chetik selalu tumbuh di hutan yang gelap, dingin, di atas tanah hitam dan subur, namun sangat jarang ditemukan.
Cara mengolah racun chetik hampir sama dengan peracikan upas. Caranya adalah kayu chetik ddipotong dan dicuci bersih, lalu direbus dalam air dalam kuaIi selama 1 jam. Lalu, cairannya disaring dan kembali direbus sampai membentuk cairan sirup yang kental. Sejumlah rempah seperti kencur, sunti, bawang merah dan bawang putih, dan lada hitam dimasukkan dalam kuali selama beberapa menit. Kedua jenis racun ini harus dimasak dalam kuali yang tertutup rapat.
Akibat racun upas sangat dahsyat. Jika upas menyerang perut, saluran pernafasan, dan sirkulasi tubuh, maka
chetik menyerang otak dan saraf. Gejala umum bila seseorang terkena racun ini adalah tubuh kejang kejang,
gelisah, bulu roma berdiri, memuntahkan isi perut, lemas, sawan, nafas memberat, air liur keluar, otot perut
kejang kejang, muntah berat, muntah air, lalu kejang hebat, dan mati. Ada pun gejala akibat racun chetik
adalah lemas, kehausan, kejang-kejang sedikit, efeknya menyebar ke seluruh sistem saraf dalam waktu singkat. Jika racun ini diterapkan pada sejumlah binatang, maka lamanya reaksi berbeda-beda. Anjing, langsung mati dalam satu jam, tikus dalam 10 menit, monyet dalam 7 menit, kucing dalam 15 menit, dan kerbau dalam 2 jam 10 menit. Hewan ini akan terjatuh langsung dengan kepala lebih dulu, terus kejang, dan akhirnya mati.
Pengetahuan yang bisa kita peroleh dan harus didalami lagi oleh dunia sains dan mereka yang yang mengejar
study akademik dibidang teknologi. Dan sudah sepatutnya negara ini memiliki badan dan lembaga khusus
penelitian dan pengembangan ilmu sains dan teknologi yang bener bener diksusukan riset baik dibidang obat
obatan maupun teknologi lainnya.
Suatu hari nanti jika negeri ini menghargai ilmu seseorang karena penemuannya bukan karena tingkat dan status akademiknya dipastikan menjadi negeri yang kuat, riset tidak harus dilingkungan kampus yang isinya mahasiswa pengejar predikat sarjana tapi kumpulkanlah mereka yang bersedia mendedikasikan diri demi ilmu penegtahuan tanpa harus memandang status akademiknya.
Yang buat negeri ini sulit melahirkan orang hebat dan penemu penemu hebat karena negara ini kurang
menghargai jasa seseorang dikarenakan tingkat pendidikannya, toh yang sekolah tinggi dibidang sains dan
teknologipun justru cuma mengejar gelar dan kemakmuran hidup, kuliah cari gelar dan akhirnya ikut test
penerimaan PNS, bUMN atau badan negara lainnya, lulus test PNS adalah dambaan para penduduk negeri ini, walaupun harus sogok sana sogok sisni yang penting bisa jadi Pegawai negeri sipil yang menurut mereka akan menjamin kehidupannya untuk hidup sampe tua..parah..!! Atau juga untuk menunjang karir dan jabatan lain yang lebih tinggi dengan demikian pengahsilan akan lebih besar.
Jadi menuntut ilmu dinegeri kebanyakan orang dinegeri ini hanya untuk uang dan kehidupan pribadinya.
Beda dengan orang zaman dahulu dari leluhur negeri ini yang menuntut ilmu justru untuk kebaikan dan manfaat bersama. Suku dan ras yang tidak pernah menyatukan penduduk negeri ini, suku dan ras juga yang jadi ego tertinggi dibumi indonesia ini..pemikiran yang kolot dizaman modern, jadi ras dan suku adlah racun mematikan penduduk negeri ini yang lebih berbahaya ketimbang racun ipoh, chentik dan arsenik.
"Didunia ini tidak ada jaminan yang ada cuma kesempatan, Status boleh berbeda tapi hak tetap sama sebagai Hamba Tuhan yang mendiami bumi ini"
Mantap gan sharingnya, getah pohon ipuh bisa membuat tentara belanda terbirit birit
BalasHapusmantab nih, bisa kaya master sasori bikin racun baru. hehehe...
BalasHapusThanks atas semua sobat yang sudah meninggalkan komentar di blog saya,
HapusSemua kekayaan leluhur bangsa ini, ada baiknya untuk pendidikan semata,