Perkembangan pasca Piagam Yogya mengalami babak baru dengan mundurnya Kepala Staf Angkatan Darat Bambang Sugeng pada tanggal 2 Mei 1955. Mundurnya Bambang Sugeng sebenarnya sudah lama ditunggu-tunggu oleh beberapa perwira anti-17 Oktober, mereka adalah Kolonel Bambang Supeno, Kolonel Zulkifli Lubis, Letkol. Sapari dan Letkol. Abimanyu. Bahkan para perwira tersebut sudah mengadakan pertemuan dengan menteri pertahanan dan Presiden untuk menurunkan Bambang Sugeng dari jabatanya sejak bulan September 1954. Sejak awal memang pengangkatan Bambang Sugeng lebih bersifat politis dan hanya mengandalkan dukungan dari Perdana Menteri Wilopo.
Bambang Sugeng dinilai gagal dalam membina
keutuhan Angkatan Darat (AD), dan di mata para politisi sipil sama sekali tidak mempunyai wibawa sehingga dapat dengan mudah dilangkahi wewenangnya oleh menteri pertahanan. Ia juga tidak mampu melaksanakan isi Piagam Yogya. Sebenanrya semua itu sudah disadarinya sejak akhir tahun 1953 ketika ia mengajukan permohonan mengundurkan diri dari jabatanya untuk pertama kali. Permohonan pengunduran kali ini langsung disetujui oleh pemerintah dan untuk mengisi jabatan KSAD ditunjuk pejabat sementara yaitu Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis.
Gambar Jenderal Bambang Utoyo ( Alm )
Seperti diketahui pada waktu pengangkatan Bambang Sugeng sebagai KSAD, hanya semata-mata akibat pertentangan politik yang bergejolak saat itu. Seperti kasus mosi dari Manai Sophian pada masa Kabinet Wilopo hingga meletusnya Peristiwa 17 Oktober 1952. ketika dipilih menjadi KSAD, Bambang Sugeng merupakan perwira yang netral tidak memihak salah satu dari kelompok pro-17 Oktober maupun kontra 17 Oktober. Ternyata harapan untuk menyelesaikan masalah persatuan di lingkungan Angkatan Darat tidak berhasil. Sebenarnya sebelum Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatanya, ia sudah mempersiapkan sebuah mutasi besar-besaran dalam tubuh AD. Tetapi rencana mutasi ini ditolak oleh Iwa Kusuma Sumantri dengan alasan yang tidak jelas.
Menurut konsepsi Bambang Sugeng yang akan dicalonkan menjadi KSAD adalah Kolonel M. Simbolon,
Wakil KSAD adalah Kolonel Bachrun. Kepala Staf Letkol. Dahlan Djambek, Kepala Personel Kolonel.
Warouw, Kepala Operasi Kolonel Sadikin, Kepala Logistik Kolonel Suprayogi, Kepala Teritorial Kolonel Sungkono, dan Kepala Organisasi Letkol. Kartakusumah. Untuk jabatan Panglima TT I dijabat Kolonel Zulkifli Lubis, TT II Letkol. Rukman, TT III Letkol. Akil, TT IV Letkol. Suharto, TT V Kolonel Sudirman, TT VI Letkol. Abimanyu, dan TT VII Letkol. Kretarto. Ada kemungkinan penolakan rencana mutasi ini yang menjadi sebab utama Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatanya sebagai KSAD. Sebab utama kabinet mengabulkan permintaan berhenti Bambang Sugeng karena kabinet melihat Bambang Sugeng selalu menyerahkan penyelesaian akhir masalah-masalah AD kepada dwi tunggal, tanpa melalui kabinet Ali.
Pengunduran diri Bambang Sugeng itu kemudian menjadi suatu test case bagi kalangan politisi sipil terhadap kesedianya untuk melepaskan campur tangan dalam pengangkatan dan pengisian personalia pada jabatan militer yang biasa mereka dasarkan pada pertimbangan politik; dan sekaligus pula menjadi ujian bagi kalangan militer sendiri sehubungan dengan pelaksanaan Piagam Yogya. Tetapi hal ini menunjukkan akan timbulnya persoalan baru di antara kedua pihak.
Sementara itu di lingkungan AD para perwira mengadakan pembicaraan untuk menentukan kriteria calon KSAD yang baru. Pada tanggal 17 Mei 1955, Simbolon dalam pidatonya di Medan mendesak pemerintah agar memperhatikan keputusan keputusan-keputusan yang telah diambil dalam konferensi di Yogyakarta. Di Jakarta pada akhir Mei, dilaksanakan sebuah rapat para perwira yang dipimpin oleh Simbolon dengan
menghasilkan sebuah keputusan agar pengangkatan KSAD yang baru didasarkan atas kecakapan dan senioritas, dan bukan berdasarkan atas pertimbangan politis.
Dalam pencalonan ini Wakil Presiden Mohammad Hatta lebih condong untuk memilih Kolonel Simbolon yang juga seorang PSI oriented dan juga merupakan perwira pro-17 Oktober. Tentu saja pilihan Hatta itu ditolak mentah-mentah oleh kabinet. Dalam penjelasanya kepada pers, pemerintah menegaskan bahwa penolakan terhadap pencalonan Kolonel Simbolon sebagai KSAD bukan didasarkan atas diskriminasi agama (Simbolon beragama Kristen), tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mendalam. Di pihak lain, Simbolon dan Gatot Subroto telah menolak untuk dicalonkan menjadi KSAD selama Iwa Kusuma Sumantri masih menjabat sebagai menteri pertahanan. Penolakan dua perwira senior AD itu merupakan sebuah bukti betapa Iwa Kusuma Sumantri tidak disukai oleh kalangan militer.
Sementara itu pemerintah menentukan kriteria-kriterianya sendiri untuk memilih KSAD yang baru. Para politisi itu tidak mau didekte oleh pihak AD mengenai suatu jabatan yang telah menjadi hak prerogatifnya. Sikap pemerintah yang tidak kenal kompromi itu semakin membuat pihak AD bersatu dan bertekad melawan segala bentuk intervensi pihak luar. Pihak pemerintah mengajukan tiga calon untuk mengisi jabatan KSAD yang kosong. Ketiga calon tersebut adalah Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis, Panglima TT V Brawijaya Kolonel Sudirman dan Panglima TT II Sriwijaya Kolonel Bambang Utoyo. Ketiga perwira tersebut bisa digolongkan sebagai perwira anti-Peristiwa 17 Oktober.
Menteri Pertahanan Iwa Kusuma Sumantri mengusulkan nama Kolonel Zulkifli Lubis sebagai pengganti Mayor Jenderal Bambang Sugeng. Ada tiga alasan mengapa Iwa Kusuma Sumantri memilih Zulkifli Lubis. Pertama, Zulkifli Lubis sudah menjabat sebagai wakil KSAD sehingga sangat paham akan tugas yang akan diemban. Kedua, pencalonan Zulkifli Lubis telah didukung oleh Presiden selaku panglima tertinggi Angkatan Perang (AP). Ketiga, Kolonel Zulkifli Lubis merupakan perwira anti Peristiwa 17 Oktober. Usulan tersebut memperoleh dukungan penuh dari kabinet. Tetapi dalam rapat berikutnya yang dilaksanankan seminggu kemudian, Iwa Kusuma Sumantri menarik dukunganya terhadap pencalonan Zulkifli Lubis sebagai KSAD. Hal ini diakibatkan tindakan Zulkifli Lubis yang mengangkat perwira perwira PSI di lingkungan AD tanpa sepengetahuan Iwa Kusuma Sumantri. Bagaimanapun juga pencalonan Lubis tidak dapat dibatalkan begitu saja oleh Iwa Kusuma Sumantri karena telah disetujui oleh Presiden.
Dwi Tunggal Soekarno Hatta tidak mencapai kata sepakat dalam pencalonan KSAD yang baru, oleh karena itu mereka meminta kepada pemerintah untuk mengajukan calon tambahan. Calon yang keempat adalah Panglima Divisi Diponegoro Kolonel Bachrun. Dia sebenarnya merupakan pendukung Peristiwa 17 Oktober 1952, tetapi oleh pemerintah dianggap relatif moderat dan karena itu bisa diterima. Namun diapun tidak cukup senior di kalangan Angkatan Darat. Akhirnya dwi tunggal menyerahkan sepenuhnya masalah ini kepada kabinet. Dengan persetujuan Presiden Soekarno, kabinet menjatuhkan pilihanya kepada Kolonel Sudirman sebagai KSAD yang baru, tetapi Sudirman menolak.
Pada awalnya ketiga perwira itu menolak untuk dicalonkan menjadi KSAD karena mereka merasa tidak mampu menjalankan isi Piagam Yogya. Wakil Ketua Parlemen Mr. Tambunan mengusulkan agar sekali lagi diadakan pembicaraan antara dwi tunggal dengan kabinet untuk menentukan KSAD, yang bebas dari segala sentimen dan diskriminasi, dapat dianggap acceptable dan capable bagi negara dan AD. Untuk kedua kalinya pemerintah menghubungi Kolonel Bambang Utoyo menanyakan kesanggupanya untuk memangku jabatan KSAD, dan akhirnya Bambang Utoyo tergoda juga dengan tawaran itu. Pada tanggal 10 Juni 1955, dikeluarkan surat pengangkatan Kolonel Bambang Utoyo sebagai KSAD dengan pangkat mayor jenderal . Menurut Feith, Bambang Utoyo adalah seorang simpatisan PNI dan senioritasnya sebagai perwira masih cukup rendah.
Pemerintah sangat yakin bisa memperoleh dukungan penuh dari para perwira begitu Presiden enandatangani surat keputusan pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD. Namun sebagian besar para perwira AD tidak senang dengan pengangkatan ini. Kini kabinet menyadari bahwa keputusan yang diambilnya memperoleh tentangan keras dan menimbulkan kemarahan di lingkungan Angkatan Darat. Kemudian diambil keputusan untuk menunda pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD sambil menunggu meredanya kemarahan pihak Angkatan Darat.
Profile Bambang Utoyo, dilahirkan di Tuban Jawa Timur pada tanggal 20 Agustus 1920. Merupakan anak kedua dari seorang ayah yang berprofesi sebagai guru dan turut berjuang dalam perlawanan 1926, dan meninggal dalam pembuangan. Bambang Utoyo memulai karirnya sebagai perwira Giyugun di Palembang.
Pada masa Revolusi 1945, Bambang Utoyo merekrut tenaga tenaga muda guna dilatih kemiliteran yang kemudian menjadi cikal bakal TKR di Palembang.
Pengalaman tempurnya yang menonjol terlihat saat memimpin pertempuran selama lima hari lima malam melawan Inggris pada bulan Desember 1946 di Palembang. Pada suatu pertempuran di tahun 1947, bambang Utoyo mengalami suatu kecelakaan ketika granat yang akan dilemparkanya meledak ketika masih
berada dalam genggaman. Kecelakaan itu menyebabkan tangan kanannya harus diamputasi dan badanya penuh dengan pecahan granat, salah satunya menancap di leher dan baru bisa dikeluarkan setelah mengeram selama enam tahun.
Karena alasan kesehatan, pada tanggal 5 September 1952 Bambang Utoyo mengajukan permohonan keluar dari dinas militer yang ketika itu dia menjabat sebagai Panglima TT II Sriwijaya dan disetujui pemerintah dengan hak pensiun. Tetapi pada tanggal 25 Nopember 1952, Bambang Utoyo kembali diangkat oleh pemerintah sebagai Panglima TT II Sriwijaya guna mengatasi ketegangan di lingkungan TT II Sriwijaya sebagai akibat dari Peristiwa 17 Oktober 1952, menggantikan Kolonel Kosasih yang dicopot anak buahnya sendiri.
Dalam pengabdianya kepada negara, Bambang Utoyo selalu bersemboyan : ”Saya sebagai seorang warga yang setia pada negaranya dan seorang militer yang mengenal disiplin akan melakukan tugas dengan sebaik-baiknya, walaupun oleh karenanya jiwa raga saya akan rusak”
Pada tanggal 27 Juni 1955 dilangsungkan upacara pelantikan Jenderal Mayor Bambang Utoyo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang baru. Sedianya upacara itu dilaksanakan di depan Istana Negara, tetapi karena tidak dihadiri oleh peserta upacara dari lingkungan Angkatan Darat, maka upacara dilaksanakan di dalam ruangan Istana Negara. Upacara tersebut hanya diiringi oleh barisan musik pemadam kebakaran kota
Jakarta dan tidak disertai Panji Angkatan Darat Kartika Eka Paksi. Pada saat yang sama Kolonel Zulkifli Lubis memberi tahu kabinet bahwa ia menolak menyerahkan wewenang kepada KSAD yang baru. Sebagai jawabanya, Iwa Kusuma Sumantri memecat Zulkifli Lubis pada saat itu juga, karena tidak mau mempersiapkan upacara pelantikan sebagaimana yang telah diinstruksikan kepadanya dan karena tidak mau menyerahkan wewenangnya kepada Bambang Utoyo.
Sehari sebelum pengangkatan Bambang Utoyo, ternyata Iwa Kusuma Sumantri telah mengetahui rencana boikot Zulkifli Lubis. Untuk itu Iwa Kusuma Sumantri memerintahkan Letkol. Mursito sebagai Deputi III KSAD untuk mengambil alih kekuasaan wakil KSAD, tetapi perintah itu ditolak oleh Mursito. Rupa rupanya para perwira sudah sepakat untuk menentang segala segala bentuk intervensi yang dilakukan oleh politisi sipil yang menyebabkan perpecahan di tubuh AD.
Pada hari itu juga Zulkifli Lubis mengadakan siaran pers untuk menjelaskan tindakan yang diambilnya.
Dalam siaran persnya itu Zulkifli Lubis mengakui bahwa ia yang memerintahkan kepada para perwira untuk tidak menghadiri upacara pengangkatan Bambang Utoyo. Tindakan itu ia tempuh untuk menegakkan wibawa AD yang selama ini hanya diperalat para politisi demi kepentingan mereka sendiri. Zulkifli Lubis juga berharap pemerintah lebih bijaksana dalam pengangkatan pejabat di lingkungan AD dengan mendengarkan aspirasi dari dalam AD sendiri. Tindakan yang ditempuhnya itu mendapat dukungan dari para panglima AD. Angkatan Darat tidak menerima pengangkatan dengan pertimbangan-pertimbangan:
1) Bahwa segala pencemaran atas nama negara dan bangsa Indonesia telah terjadi karena menteri pertahanan tidak sanggup menghalang-halangi pelantikan tanggal 27 Juni 1955. 2) Bahwa dengan keadaan kebijakan pemerintah menghadapi persoalan KSAD keadaaan Angkatan Darat negara dan bangsa Indonesia menghadapi kesulitan dan kekacauan yang akan mengakibatkan suatu keadaan yang mungkin tidak dikehendaki lagi.
Tanggal 29 Juni 1955 sampai 2 Juli 1955, dengan bertempat di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) diadakan rapat pimpinan AD guna membahas seputar Peristiwa 27 Juni 1955. Dalam rapat itu para perwira menuntut kepada pemerintah agar memberi batasan yang jelas antara masalah teknis dan masalah politis. Selain itu pemerintah harus menetapkan alokasi dana yang cukup untuk melaksanakan tugas pertahanan negara. Mereka berpendapat bahwa krisis yang dialami oleh AD saat ini disebabkan oleh sikap pemerintah yang tidak mau menghiraukan Piagam Yogya. Sebagai langkah awal mereka meminta pemerintah agar membatalkan pengangkatan Bambang Utoyo, dan kemudian mengangkat KSAD yang baru sesuai dengan isi Piagam Yogya serta mencabut skorsing terhadap Kolonel Zulkifli Lubis.
Keputusan yang dihasilkan dalam rapat pimpinan AD didukung sepenuhnya oleh IPRI yang dipimpin oleh Kolonel Rudi Pringadi. Badan inilah yang memelihara solidaritas diantara para tentara sebagai pengganti kontrol terpusat MBAD yang menjadi lemah sejak Peristiwa 17 Oktober 1952. Di lain pihak Presiden Soekarno berusaha mambujuk Kolonel Warouw, Kolonel Bachrun dan Kolonel Sudirman agar mau mendukung pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD yang baru, tetapi para perwira itu menolaknya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Zulkifli Lubis membentuk sebuah tim asistensi yang akan membantunya dalam melakukan negosiasi dengan pemerintah. Tim tersebut terdiri dari: Kolonel Andi Saleh, Letkol. Sapari, Letkol. Abimanyu, Letkol. A.J. Mokoginta, Letkol. Sumual dan Letkol. Pieters. Tuntutan Angkatan Darat adalah tetap, yaitu selain mencabut skorsing terhadap Lubis juga agar pemerintah memberhentikan dengan hormat Bambang Utoyo dan mengangkat KSAD yang baru dengan persyaratan yang telah diajukan pihak AD. Secara rinci, pendirian Angkatan Darat adalah sebagai berikut:
1) Agar Mayor Jenderal Bambang Utoyo dengan sukarela mengundurkan diri sebagai KSAD.
2) Agar Pemerintah memberhentikan dengan hormat Mayor Jenderal Bambang Utoyo dari jabatannya sebagai KSAD.
3) Agar Pemerintah mengangkat KSAD yang baru.
4) Supaya Pemerintah mencabut skorsing WKSAD
Sebuah delegasi yang terdiri dari Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Sungkono dan Letkol. Dr. Aziz Saleh pada tanggal 5 Juli 1955, datang kepada Bambang Utoyo untuk memintanya mundur secara sukarela dari Jabatan KSAD. Jawaban dari Bambang Utoyo adalah bahwa dia tetap loyal kepada Angkatan Darat dan pemerintah, dan bahwa dia mungkin akan bersedia untuk mengundurkan diri. Perundingan antara Angkatan Darat dengan Menteri Pertahanan Iwa Kusuma Sumantri, tidak menghasilkan apa-apa. Oleh karena itu Zulkifli Lubis mengutus Letkol. Sukanda Bratamenggala, seorang keponakan Iwa Kusumasumantri untuk merancang suatu persetujuan, tetapi Iwa Kusumasumantri tidak mau mundur setapakpun. Menghadapi sikap kompak Angkatan Darat itu, kabinet mundur selangkah dengan mencabut skorsing terhadap Kolonel Zulkifli Lubis. Pencabutan itu tak pelak lagi menjadikan Zulkifli Lubis dapat secara legal memimpin AD dalam melancarkan protesnya terhadap pemerintah. Menurut Sundhaussen, Peristiwa 27 Juni Bukan merupakan suatu kudeta militer terhadap pemerintah yang berkuasa.
Ia menyatakan :
”Peristiwa 27 Juni 1955 dan sesudahnya bukanlah suatu kudeta, dan saya berpendapat bahwa bahkan tak pernah ada rencana untuk melakukan kudeta. Tidak seorangpun di antara para perwira yang diwawancarai mengiakan kabar-kabar yang menyatakan bahwa ketika itu soal kudeta pernah dibicarakan, atau bahwa Angkatan Darat telah dengan sengaja menempuh kebijakan untuk menjatuhkan pemerintah yang satu ini atau bahkan untuk mengusahakan pengunduran diri Iwa. Yang benar adalah bahwa Angkatan Darat telah melakukan tindakan insubordinasi.”
Sedangkan Herbeth Feith menyatakan bahwa ada maksud-maksud dari pihak para perwira senior untuk menghapuskan sistem demokrasi parlementer melalui suatu kudeta militer. Tetapi para perwira itu kemudian memutuskan untuk tidak menjatuhkan kabinet Ali Sastroamidjojo. Pertimbangan mereka untuk menunda kudeta itu adalah bahwa mereka takut dituduh menhancurkan peluang bagi demokrasi konstitusional di Indonesia menjelang dilangsungkanya pemilu. Tetapi ia berkesimpulan bahwa kabinet Ali Sastroamidjojo dijatuhkan oleh satu kekuatan saja. Mekanisme yang menyebabkan kejatuhanya adalah mekanisme partai-partai dan parlemen, tetapi momentum bagi kejatuhan itu datangnya dari Angkatan Darat dan tidak dari pihak lain.
Arti penting Peristiwa 27 Juni 1955 tidak semata-mata menyebabkan jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo. Yang menarik adalah penolakan untuk kedua kalinya dari pihak militer terhadap tawaran para pemimpin militer untuk tidak melibatkan tentara ke dalam politik praktis. Politisi lebih mengutamakan keuntungan politis jangka pendek yang relatif kurang penting daripada upaya untuk menata kembali secara prinsipil hubungan antara pemerintah dan militer. Yang tidak mereka sadari adalah bahwa hubungan antara para pejabat sipil dengan pihak tentara semakin memburuk sejak awal 1955, sehingga secara berangsur-angsur ketidakpercayaan korps perwira terhadap politisi semakin kuat. Sikap kabinet yang mengabaikan Piagam Yogya pada akhirnya menutup peluang bagi para politisi untuk menguasai tentara hanya dengan siasat pecah-belah.
Peristiwa 27 Juni juga membuka mata para perwira militer bahwa alternatif-alternatif dalam hubungan militer dengan pemerintah tidak sekedar merupakan pilihan antara pengakuan penuh atas supremasi sipil, upaya-upaya untuk meminta perlindungan dari kalangan tertentu dalam struktur kekuasaan sipil, atau suatu kudeta militer. Namun masih ada satu alternatif lain, yaitu upaya untuk menjamin bahwa pandangan Angkatan Darat diperhitungkan dengan jalan menolak kerjasama dengan pemerintah. Arti penting lainya adalah bahwa Peristiwa 27 Juni 1955 telah menghidupkan kembali gagasan bahwa tentara tidak dengan sendirinya harus menerima baik semua instruksi dari orang-orang yang duduk di kabinet. Kemenangan yang dicapai Angkatan Darat telah memperkuat rasa percaya diri mereka dan kemungkinan bahwa selanjutnya mereka akan berusaha menjamin agar militer dimintai pendapat mengenai soal soal militer dan bahkan permasalah non militer.
Untuk mengenang jasa beliau, nama Jenderal Bambang Utoyo diabadikan pada nama jalan di kota Palembang. Demikian artikel mengenal sosok Jenderal Bambang Utoyo In History, semoga berguna dan dapat menambah wawasan pengetahuan dan arsip sejarah nasional. Dikuitp dari beberapa sumber.
0 comments:
Posting Komentar