Selasa, 15 Januari 2013

Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

peristiwa malari 1974
 
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.  Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Soegomo.

Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari

Pada pertengahan Januari 1974, ketika hari masih sangat pagi, Hariman Siregar dibangunkan dari selnya di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat. Sudah dua hari ia ditahan di sana karena dituduh terlibat dalam peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974, yang dikenal dengan sebutan Peristiwa Malari.

hariman siregar tokoh malari 1974

Pagi itu, Hariman diperbolehkan keluar dari sel sebentar untuk pergi ke Rumah Sakit St. Carolus, karena Sriyanti, istrinya, dalam kondisi mencemaskan ketika hendak melahirkan anak kembar. Pada saat Hariman sampai di rumah sakit, kabar sedih menerpa: bayi kembar yang baru saja dilahirkan Sriyanti telah meninggal. Esok harinya, Sriyanti pun mengalami koma sebelum akhirnya mengalami hilang ingatan untuk selamanya. Beberapa waktu kemudian, Kalisati Siregar, ayah Hariman, juga meninggal.

Barangkali, itulah masa-masa terberat bagi sosok Hariman Siregar. Setelah dipenjara rezim Soeharto, ia mesti kehilangan anak, ayah, sekaligus menyaksikan istrinya sakit berkepanjangan. “Kalau ingat masa itu, gue jengkel. Membicarakan ini rasanya tidak menyenangkan. Bayarannya tidak imbang. Semuanya sudah habis,” kata Hariman mengomentari masa-masa suram itu.

Kesedihan berat yang menimpa Hariman itulah yang menjadi kisah pembuka dalam buku Hariman & Malari ini. Buku ini merupakan biografi yang ditulis dengan sudut pandang orang ketiga. Bukan memoar yang mengambil sudut pandang orang pertama, yang belakangan marak. Diterbitkan Q-Communication–yang beberapa kali menerbitkan buku biografi tokoh ternama–buku ini ditulis Imran Hasibuan, Airlambang, dan Yosef Rizal dan diterbitkan pada Januari 2011.

Secara garis besar, ada empat bagian dalam buku ini. Bagian pertama berisi kisah hidup Hariman. Bagian kedua menyuguhkan galeri foto. Bagian ketiga menampilkan komentar para tokoh ihwal sosok Hariman. Sedangkan bagian terakhir mengetengahkan sejumlah tulisan Hariman.

Dalam literatur gerakan mahasiswa di Indonesia, nama Hariman Siregar selalu diidentikkan dengan Peristiwa Malari. Sebagaimana banyak diketahui, Malari adalah julukan yang mencakup dua peristiwa yang berdekatan waktu, meski belum tentu berkaitan. Peristiwa pertama adalah demonstrasi besar-besaran mahasiswa di Jakarta pada 15 Januari 1974.

Aksi itu terutama berkaitan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, ke Indonesia. Pada hari itu, ratusan mahasiswa dan pelajar melakukan long march dari Universitas Indonesia (UI) di Salemba, Jakarta Pusat, ke Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat.

Tujuan utama aksi itu sesungguhnya menuntut pemerintah mengubah kebijakan pembangunan dan ketergantungan pada modal asing. Selain itu, juga mendesak penguasa menangani secara serius berbagai penyelewengan dan korupsi yang kian merajalela serta penguatan lembaga penyalur pendapat rakyat. Di Trisakti, mereka melakukan mimbar bebas hingga sore hari.

Pada saat hampir bersamaan, terjadi peristiwa kedua, yakni kerusuhan massal di sejumlah sudut kota Jakarta. Massa melakukan pembakaran, perusakan, dan penjarahan terhadap sejumlah gedung. Dalam kerusuhan yang berlangsung selama dua hari itu, 11 orang meninggal, ratusan mobil dan sepeda motor rusak, serta lebih dari 100 gedung dan bangunan hangus dibakar. Meski para tokoh mahasiswa menyatakan kerusuhan itu tidak ada kaitannya dengan demonstrasi mahasiswa, pemerintah tetap menangkap sejumlah pentolan mahasiswa.

Sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman Siregar ada dalam daftar utama target penangkapan. Dalam pengadilan yang digelar untuknya, ia divonis enam tahun penjara (walaupun prakteknya ia hanya dipenjara kurang dari tiga tahun) karena dianggap melakukan tindakan subversi, yakni merongrong haluan negara.

Setelah dibebaskan dari penjara, naluri aktivis Hariman tidak surut. Ia kembali terlibat menyokong gerakan mahasiswa 1978 yang menolak Soeharto sebagai presiden kembali. Setelah itu, nama pria kelahiran Padang Sidempuan, Sumatera Utara, 1 Mei 1950, itu memang tak bisa dilepaskan dari dunia pergerakan hingga sekarang.

Namun, sejatinya, pelekatan Peristiwa Malari di belakang nama Hariman tidaklah tepat. Sebab, faktanya, kerusuhan yang diwarnai pencurian, pembakaran, dan terbunuhnya belasan orang itu merupakan aksi yang sama sekali terpisah dari gerakan mahasiswa ketika itu. Kerusuhan itu juga tidak bisa dibilang 100% inisiatif masyarakat Jakarta yang mendukung aksi-aksi mahasiswa, melainkan lebih cenderung ada tangan ketiga yang menggerakkannya.

Seperti kesaksian mantan Panglima Kopkamtib Jenderal (purnawirawan) Soemitro dalam memoarnya. Menurut dia, kelompok “jaringan intel lepas” Opsus (Operasi Khusus) di bawah komando Ali Moertopo yang paling bertanggung jawab atas peristiwa kelam itu. Ia menunjuk serangkaian rapat rahasia kelompok itu yang dilakukan beberapa kali menjelang Peristiwa Malari pecah. Dengan kesaksian ini, tampak bahwa Hariman hanyalah kambing hitam tragedi nasional itu. Jadi, bila menyebut Hariman sebagai tokoh sentral Peristiwa Malari, sama saja dengan membenarkan pengambinghitaman tersebut.

Buku Hariman & Malari mengisahkan dengan cukup rinci bagaimana jejak politik Hariman dimulai, perkembangannya, hingga kondisinya pada masa setelah reformasi. Ia dibesarkan dalam keluarga yang berafiliasi pada Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ibunya pun cukup aktif dalam Gerakan Wanita Sosialis, organisasi onderbouw PSI. Bahkan, setelah berkeluarga, mertuanya yang sekaligus guru politiknya adalah tokoh partai itu: Prof. Dr. Sarbini Soemawinata.

Yang cukup menarik, ternyata pada masa awalnya menjadi aktivis, Hariman pernah dekat dengan Ali Moertopo, seorang asisten pribadi Presiden Soeharto. Dengan dukungan dari kelompok Ali Moertopo pula, Hariman berhasil meraih kursi Ketua Dewan Mahasiswa UI, mengalahkan pesaingnya dari Himpunan Mahasiswa Islam yang ketika itu sangat berpengaruh di UI. Meski begitu, segera setelah terpilih sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman menunjukkan independensinya dari Ali Moertopo.

Tragisnya, ia lalu menjadi korban dalam tarik-menarik rivalitas dua petinggi tentara di lingkaran kekuasaan ketika itu: Ali Moertopo di satu pihak dan Soemitro di pihak lain. Soemitro dicurigai membahayakan kedudukan Pak Harto dengan menggalang dukungan mahasiswa. Malah, dalam dokumen yang dikenal dengan Dokumen Ramadi disebutkan, Soemitro hendak merebut kekuasaan dari tangan Soeharto.

Dalam keterangan resminya ketika itu, pemerintah menyebutkan keterlibatan PSI dan Masyumi yang dicap sebagai kelompok ekstrem kanan dalam tragedi nasional itu. Hal itu disampaikan Presiden Soeharto dalam sidang kabinet dan pada saat bertemu dengan para pemimpin partai politik. Disebutkan pula keterlibatan mantan anggota Partai Nasional Indonesia poros Ali-Surachman dan kalangan tentara yang memiliki ambisi pribadi. Malah, lebih jauh, pemerintah menuding adanya dukungan pihak asing yang ikut menyusun rencana dan mendanai gerakan itu.

Kisah menarik lainnya adalah peran Hariman ketika B.J. Habibie menjadi presiden. Pada waktu itu, Hariman termasuk orang dekat dengan Habibie. Ia bahkan mengerahkan sejumlah rekan aktivisnya untuk mendukung Habibie menjelang sidang umum MPR pada Oktober 1999. Hariman berupaya agar anggota MPR menerima laporan pertanggungjawaban Habibie, sehingga kemungkinan Habibie menjadi presiden lagi terbuka lebar.

Tapi laporan pertanggungjawaban itu ditolak. Habibie memutuskan tidak maju sebagai calon presiden. Sejak itu hingga sekarang, Hariman berada di lingkar luar kekuasaan dengan mengelola Indonesian Democracy Monitor (Indemo). Seiring dengan perubahan zaman, Hariman tidak lagi memainkan peran sentral dalam politik Indonesia.

Penerbitan buku ini barangkali adalah bagian dari upaya mengingatkan bahwa Hariman pernah punya peran penting dalam sejarah Indonesia. Sebagai tugu pengingat, buku ini bisa dikatakan bagus, meski –seperti umumnya biografi– isi buku ini terlalu banyak puja-puji dan minim kritik.
Demikianlah Peristiwa Dan Tokoh Malari 15 Januari 1974.
 
Sumber:
http://rumahmimpi.net/2011/03/jejak-politik-hariman-siregar/
http://id.wikipedia.org/wiki/Malari





0 comments:

Posting Komentar

Arsip Blog

Visitor

Popular Posts

Donate To Me On Paypal

https://www.paypal.me/riyanto1971